Jakarta, CNN Indonesia -- Konon,
mahasiswa adalah agen perubahan.
Gelombang
demonstrasi mahasiswa kian meluas. Rombongan mahasiswa secara serentak menggelar aksi unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia sejak Senin (23/9). Mereka berbondong-bondong memprotes rencana pemerintahan Presiden
Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang kontroversial.
Spanduk panjang yang memuat kalimat-kalimat protes dibentangkan. '
Tolak semua UU yang anti-rakyat', '
Tolak RKHUP ngawur', dan masih banyak lagi kalimat berapi-api yang mereka sematkan pada kain polos panjang itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di balik spanduk yang 'berkoar-koar' marah itu, ada jas almamater universitas yang menutupi tubuh para demonstran. Tak lupa pula tas punggung dan sepatu
kets, sebagaimana yang dikenakan sehari- hari untuk pergi kuliah.
Atas nama ketidakadilan, sebagian mereka bersama-sama melangkahkan kaki menuju gedung-gedung pemerintahan dan meneriakkan sejumlah aspirasi. Mahasiswa bergerak, katanya.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa bukan hal aneh di negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Tak ada yang salah dengan demonstrasi mahasiswa. Aksi dilakukan sebagai perjuangan untuk mengubah sesuatu yang dirasa salah.
"Mereka merasa bahwa mahasiswa punya
power untuk mengubah sesuatu yang dianggapnya salah," ujar psikolog Ni Made Diah Ayu Anggraeni kepada
CNNIndonesia.com, melalui sambungan telepon, Selasa (24/9).
Secara psikologis, usia mahasiswa menandai fase kehidupan dewasa awal. Ayu mengatakan, dalam fase ini, rasa tanggung jawab terhadap hal-hal yang lebih luas mulai muncul pada diri mahasiswa. Salah satunya adalah tanggung jawab terhadap negara.
"Mereka [orang-orang di usia dewasa awal] sudah mulai memiliki rasa bertanggung jawab terhadap negara," kata Ayu.
Selain itu, mahasiswa juga mulai memasuki usia produktif. Lengkap dengan karakter idealisme tinggi yang menempel kuat pada mahasiswa. "Mereka ini orang-orang yang berpendidikan dan mencoba mengkritisi sesuatu," ujar Ayu.
 Ilustrasi. Pada usia dewasa awal, mahasiswa mulai merasa memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih luas, termasuk negara. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Dengan beragam karakter yang dimiliki, bukan tak mungkin jika mahasiswa terdorong untuk melakukan aksi demi mengkritisi apa yang dianggapnya salah.
Dengan berunjuk rasa, para mahasiswa bersama-sama berorientasi pada perubahan. Di sana-lah terbangun keyakinan yang sama bahwa ada situasi yang harus diubah.
Perlu diketahui, saat seseorang berada bersama atau tergabung ke dalam kelompok aksi, maka identitas pribadi itu akan menghilang dan melebur dengan identitas kelompok.
Kendati aksi demonstrasi mahasiswa dirasa wajar, namun perlu dicermati pula soal emosi mereka yang belum stabil sepenuhnya. Usia dewasa awal, kata Ayu, masih rentan terpengaruh oleh beragam faktor.
"Karena namanya dewasa awal, mereka masih mudah terprovokasi," katanya.
Kerentanan ini lah yang kerap kali menjadi pemicu kerusuhan dalam sebuah aksi unjuk rasa mahasiswa. Tengok saja aksi mahasiswa yang berlangsung hari ini, Selasa (24/9) di beberapa daerah. Sejumlah aksi berlangsung ricuh. Aparat kepolisian sampai harus melemparkan gas air mata.
"Kita,
kan, enggak tahu di lapangan ada apa, ya. Siapa tahu ada faktor-faktor lain yang bisa memprovokasi mereka. Itu yang harus diperhatikan," jelas Ayu.
Usia mahasiswa juga dianggap sebagai masa peralihan dari remaja berseragam putih abu menuju fase dewasa. Psikolog Mira Amir mengatakan, fase ini adalah waktu di mana seorang individu mulai mengeksplorasi kehidupan-kehidupan baru yang belum pernah ditemuinya saat duduk di bangku sekolah.
"Mereka ingin ikut aksi karena rasa penasaran dan ingin tahu. Mereka ingin mencoba," ujar Mira saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (24/9).
Identitas Diri dan Tragedi TrisaktiAksi mahasiswa yang berujung ricuh bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebelumnya, sejumlah aksi telah berlangsung. Salah satu yang paling tersimpan dalam benak banyak orang adalah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998.
Bukan hal yang tak mungkin jika apa yang dilakukan mahasiswa pada masa itu menjadi '
role model' bagi mereka yang tengah berjuang saat ini. Mira melihat ada konsep 'meniru' yang dilakukan mahasiswa dalam demonstrasi yang kini tengah berlangsung.
"Tragedi [Trisakti] 1998 sebenarnya menjadi tren tersendiri di kalangan anak muda," kata Mira. Tak ayal, lanjut dia, aksi yang dilakukan generasi terdahulunya itu mendorong mahasiswa untuk melakukan hal serupa.
"Mereka ingin membuat sejarah sama seperti pendahulunya. Mereka juga ingin menduduki DPR, untuk mendapat pengakuan di kemudian hari," jelas Mira.
Hal ini, disebut Mira, berkaitan dengan karakter usia mahasiswa yang sangat membutuhkan pengakuan akan identitas dirinya. Dengan cara itu, mahasiswa membentuk identitas dirinya di tengah lingkungan sosial yang lebih luas. "Padahal memahami secara substansial juga belum tentu," katanya.
Belum lagi jargon-jargon yang dilontarkan, yang pada ujungnya berhasil memprovokasi mahasiswa. "Usia mahasiswa, kan, mudah terprovokasi," kata dia.
Kekhawatiran Orang TuaGelombang aksi mahasiswa itu tak ayal menimbulkan kekhawatiran pada orang tua. Banyak orang tua yang merasa khawatir dengan buah hatinya yang masih duduk di bangku kuliah.
Orih Kawati (48) khawatir sang buah hati, Nabilla, turut serta dalam aksi. Saat pertama kali mendengar kabar soal bergejolaknya aksi mahasiswa di sejumlah daerah, yang dilakukan Orih pertama kali adalah menghubungi anak perempuannya yang berkuliah di Bandung, Jawa Barat.
 Ilustrasi. Tragedi Trisakti 1998 jadi ' role model' bagi mahasiswa masa kini yang ingin mendapatkan pengakuan akan identitas dirinya di lingkungan sosial yang lebih luas. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Ya, saya tanya, dia ikut-ikutan demo apa tidak,
kan," kata Orih kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (24/9).
Bukan apa-apa, Orih khawatir jika ada hal-hal buruk yang terjadi pada putrinya dalam suasana aksi massa. Apalagi mengingat Nabilla yang masih duduk di tingkat kedua perkuliahan.
Orih berharap, sang buah hati tak perlu ikut meramaikan aksi demonstrasi. "Buat apa? Kritis boleh, cuma,
kan, yang namanya demo suka ricuh," kata dia.
Wajar jika banyak orang tua khawatir. Meski telah memasuki fase dewasa awal, mahasiswa tetap menjadi tanggung jawab orang tua. "Kalau ada apa- apa di tengah aksi, siapa yang tanggung jawab?
Kan, kita sebagai orang tua [yang bertanggung jawab]," kata Orih.
Mira mengingatkan, meski menyandang status 'mahasiswa', bukan berarti mereka bisa diberikan kebebasan sepenuhnya. Banyak orang berpikir bahwa usia mahasiswa adalah usia dewasa, padahal tidak sepenuhnya.
"Salah satu patokan dewasa adalah mereka bisa bertanggung jawab sendiri atas apa yang mereka lakukan," jelas Mira.
Untuk itu, diperlukan pendidikan karakter yang diterapkan oleh orang tua sejak dini. "Bagaimanapun, semua kembali ke lingkungan rumah," kata Mira. Dia menganjurkan agar orang tua mengajarkan anak untuk berpikir kritis sejak dini.
Lain sisi, melarang-larang anak yang telah berada pada usia dewasa awal untuk mengikuti demonstrasi juga bukan hal yang benar.
"Tapi mungkin orang tua harus menyikapinya dengan cara yang berbeda, ya. Kalau remaja SMA,
kan, bisa dilarang-larang, tapi usia mahasiswa tidak bisa seperti itu," kata Ayu.
Orang tua, kata Ayu, harus bisa mengajak sang anak berdiskusi. Cari tahu bagaimana si anak memandang permasalahan tertentu. "Namanya umur segitu, mereka juga pasti ingin mengeluarkan pendapat dan didengar," kata Ayu.
[Gambas:Video CNN] (asr/asa)