Jakarta, CNN Indonesia -- Hampir sebulan
work from home, membuat Kian Yui lama-lama terbiasa. Corporate Finance Manager di sebuah perusahaan swasta ini bisa merampungkan tugas kantor sembari mengurus
anak. Nyaris tak ada kendala berarti selama bekerja. Toh urusan menemani sang bocah tadi pun ia lakukan bersama sang istri, berbagi tugas.
Meski tak dipungkiri, di sela pekerjaan, suara tanya bocah usia 12 tahunnya itu kerap mampir.
"Beberapa kali tanya sama kami," ucap Kian kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (15/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia maklum, sejak pembatasan aktivitas diterapkan demi mengerem penyebaran virus corona, anaknya juga mesti belajar dari rumah. Para bocah menjalani kelas belajar melalui daring.
"Kendalanya kalau bingung sama pelajaran, waktu online class-nya mungkin terbatas. Kalau di sekolah kan bisa ada waktu dari pagi sampai sore di sekolah, kapanpun bisa tanya ke gurunya. [kalau online class] Dia harus cari tahu sendiri," kata Kian.
Orang tua pun mau tak mau harus menjadi guru sekaligus teman. Kian dan istri bahkan sempat terlibat dalam pembuatan tugas sang anak. Keduanya jadi 'kameraman' dadakan.
Suatu ketika, cerita Kian, sekolah memberikan tugas sang anak untuk membuat video wawancara. Akhirnya, ia dan istrinya kebagian 'tugas' juga buat mengambil gambar dan menjadi tim penilai-yang memberikan masukan. Namun semua itu lancar mereka lalui.
Kian diam-diam sedikit lega, anaknya bisa bangun dengan santai, bersiap bisa dilakukan mulai pukul 08.30 WIB, lantas mengikuti kelas online, tak perlu berjibaku dengan kemacetan demi sampai ke sekolah dan, mereka masih mereka bisa sarapan bersama.
Berbeda dirasakan Ahmad Bachrain. Urusan pekerjaan rumah tangga, ia dan sang istri, Sabrina memang terbiasa berbagi tugas. Tapi untuk beberapa hal, Bachrain mesti 'turun tangan' sendiri jika sudah berurusan dengan putrinya, Nashira Bachrain.
Bocahnya itu usianya masih 3,5 tahun.
"Kacau balau deh, anak kadang bikin ulah. Ya, tipikal kenakalan anak kecil. Gini, dia kan penakut, kalau di rumah dia enggak mau main di ruang tamu kalau enggak ada orang di situ," terang Bachrain.
"Saya dan istri kan kerja di kamar, maklum ruangan terbatas, karena kontrakan. Dia masuk nih [ke kamar], bawa minuman, lalu ditumpahin di kamar. Haduh, puyeng," ia melanjutkan cerita.
Kalau sudah begitu, kata Bachrain, istrinya akan merespons ulah si kecil dengan teriakan. Ia, hanya bisa mengomel sekenanya saja. Sejenak kadang Bachrain mesti meninggalkan laptop dan beralih ke 'tugas' menenangkan anak sehingga ia dan istrinya bisa lebih fokus bekerja.
Distraksi macam itu ia akui bikin 'kepala pecah'. Perpaduan antaara polah sang bocah dan teriakan sang istri.
Sensasi lain lagi diungkapkan Muhammad Arby. 'Bapak baru' ini justru sedang menikmati masa-masa awal memiliki anak. Tangis bayi perempuan usia tiga bulan itu justru jadi 'teman' saat Arby bekerja.
"Sebenarnya boleh dibilang distraksi, tapi lebih banyak menghiburnya," cerita dia sumringah.
Tugas merawat dan mengasuh ia bagi berdua dengan pasangan. Arby mengaku selalu menyediakan diri untuk ikut menenangkan sang bocah, agar istrinya bisa beristirahat. Maklum, ia Cuma bisa ambil bagian untuk urusan mengganti popok.
Selama masa bekerja dari rumah pun, ia memilih menggarap tugas kantor itu di kamar, sembari menjaga anak.
Work From Home atau Work From Office?Bertolok pada pelbagai pengalaman selama bekerja dari rumah, kesan yang membekas dari masing-masing bapak berbeda. Jika harus memilih, Arby dan Bachrain lebih senang bekerja dari kantor.
Arby beralasan, bekerja di rumah memang memunculkan rasa nyaman karena dekat keluarga. Tapi pekerjaan terasa lebih efektif ketika dilakukan di kantor. Koordinasi dengan rekan kerja pun lebih gampang. Ditambah lagi, tempat ia bekerja menerapkan sistem penilaian per pekan sehingga kinerja di kantor bakal terukur.
Tak bisa disangkal, terlalu lama bekerja dari rumah memunculkan perasaan janggal-kangen kantor.
"WFH bikin kangen suasana kantor, kangen sama teman-teman kantor juga. Yang enggak kangen naik keretanya, desak-desakan, pulang malam. Kalau bisa teleportasi, terus langsung kerja, okelah," tutur Arby diikuti tawa.
Begitu pula dengan Ahmad Bachrain. Ia juga menganggap kerja dari rumah tak cukup efektif. Selain itu beban tugas terasa jadi kian banyak. Ditambah lagi, ia kehilangan bahan pelepas penat seperti senda gurau dengan rekan kerja atau kegemarannya: mengunjungi pasar.
 Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino |
Rutinitas ke kantor membuat Bachrain lancar melakoni hobi pergi ke pasar. Bagi dia, kunjungan ke pasar bisa jadi jalan lain pelepas stres. Sayuran segar dan warna-warni buah membuatnya senang. Lagipula toh istrinya juga kerap menitip belanjaan. Sekali mendayung dua tiga pula terlampaui, belanja beres, urusan hiburan terpenuhi pula.
Memasuki masa-masa pandemi, sekalipun masih bisa ke pasar, tapi tentu prosedurnya jadi kian repot.
Sedangkan Kian Yui mengungkapkan, masa work from home ini memberikan pelajaran berharga. Ia jadi punya lebih banyak waktu dengan keluarga. Bila yang lain merasa lebih nyaman berkoordinasi langsung, Kian merasa komunikasi jarak jauh ini malah terasa lebih efektif.
Jika di kantor, kata dia, koordinasi antar-divisi seperti rapat atau hal lainnya memerlukan ruangan khusus. Tak jarang pertemuan terpaksa ditunda gara-gara jadwal yang bentrok atau ruangan yang penuh dengan kegiatan lain.
Sedangkan selama WFH ini, cukup bermodal laptop dan jaringan internet, dirinya bisa 'membabat' tugas dari rumah.
"Kami juga enggak ada yang susah sinyal. Jadi kalau koordinasi mudah dan cepat dari manapun," terang Kian.
(els/nma)
[Gambas:Video CNN]