Selasa sore di awal Mei, perasaanku tidak karuan. Cemas, dag-dig-dug, takut semua berbaur menjadi satu. Dokter tiba-tiba mengatakan aku harus rawat inap saat itu juga. Kandunganku sudah masuk pada tahap bukaan ketiga.
Padahal, semula aku datang ke rumah sakit di daerah Jatimulya, Kota Bekasi, ini hanya untuk pemeriksaan rutin. Tapi rencana Tuhan memang bukan untuk kami pertanyakan.
Petang itu perawat bergegas membawaku ke ruang bersalin sementara suamiku, Okky, menyiapkan administrasi dan beberapa kebutuhan lainnya.
Hari-hari kami menanti anak pertama rupanya akan segera menemui pengujung. Bidadari kami akan segera tiba.

Rumah sakit saat itu tak seramai biasanya. Di tengah pandemi yang tengah melanda, layanan kesehatan memang jadi tempat yang dihindari. Di sekitarku hanya terlihat perawat yang mondar-mandir.

Di tengah suasana yang sepi itu lebih dari 12 jam kami menunggu bukaan semakin membesar. Cemas mulai menunjukkan tanda-tandanya pada raut wajah suami yang siaga menjagaku. Kantung matanya bengkak. Lelah dan kurang istirahat.

Ketika waktu tiba di pukul sembilan pagi, dokter kandunganku memutuskan untuk merangsang kontraksi rahim dengan proses induksi. Rasanya sungguh tidak karuan. Mulas dan sakit yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

Suamiku sering berkata bahwa aku adalah sosok perempuan yang kuat. Bahkan dalam titik-titik yang menurutnya menimbulkan rasa sakit, aku masih bisa menganggapnya biasa.

Namun, induksi ini berbeda. Selama kurang lebih dua jam aku merasakan sakit yang demikian luar biasa. Ditambah mulas yang tidak terkira. Tak bisa tergambarkan.

Adrenalinku meninggi seiring waktu. Apalagi ruangan melahirkan yang kurang lebih sebesar kamar anak kos kuliahan itu terisi penuh oleh perawat. Di sebelahku Okky terus menggenggam erat tangan. Menyemangatiku sekuat kemampuan. Aku tahu dia sangat khawatir dengan kondisiku saat ini.

Terdengar sayup-sayup suara perawat menyiapkan alat bersalin sembari menunggu dokter Putra datang kembali.

“Enggak kuat, enggak kuat lagi!” teriakanku pecah di suasana rumah sakit yang sunyi.

Okky makin erat menggenggam tanganku.

Hingga akhirnya dokter Putra pun tiba dan bersiap untuk mengambil tindakan. Okky menjauh sedikit. Menatap proses kelahiran ini dari balik punggung para petugas rumah sakit.

“Kamu hebat, kamu bisa, kamu kuat!” ujar dokter Putra terus memberikan semangat dengan suara lantangnya sembari membantu si bayi keluar dari rahimku.

Aku tak bisa lagi merekam waktu. Rasanya tak berkesudahan. Lama sekali.

Dan kemudian suara tangis itu muncul. Memecah situasi di ruang bersalin. 6 Mei 2020, pukul 14.53, putri pertamaku dan Okky menyapa dunia lewat tangisan kerasnya.

Amaranggana Kianda Raharjo, kami menamainya.

Amaranggana berarti bidadari. Doa kami agar kelak ia akan menjadi bidadari bagi kedua orang tuanya.

Empat hari setelah proses melahirkan selesai, dokter mengizinkan kami pulang. Aku dan Okky mencoba menata rumah sedemikian rupa. Menyiapkan kamar untuk sang penghuni baru yang akan menemani tidur dan hari-hari. Membuatnya senyaman mungkin agar Amaranggana bisa beristirahat dan bermain dengan aman.

Perjuangan membesarkan anak tentu tidak mudah. Apalagi bulan-bulan terakhir ini kehidupan kami tidak seperti biasanya. Keadaan saat mengandung dan saat melahirkan yang sudah kami hitung matang-matang berubah ketika wabah Covid-19 muncul di Indonesia awal Maret lalu.

Virus corona dan segala pembatasan sosial yang dibawanya berdampak pada pemasukanku. Apalagi perusahaan memutuskan untuk memangkas gajiku setengahnya.

Okky pun tak jauh berbeda. Ia diperintahkan untuk bekerja dari rumah oleh kantornya, suatu perusahaan bioskop di Jakarta. Pemasukannya pun berkurang.

Kami harus bersiasat untuk mengatur keuangan agar bisa melewati masa-masa sulit ini. Termasuk saat memilih rumah sakit bersalin. Bahkan kami sempat bolak-balik pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya untuk mencari kondisi paling optimal.

Total empat tempat kami sambangi, sampai akhirnya menemukan rumah sakit di daerah Jatimulya.

Kami sempat mendapat angin segar ketika bonus tahunan Okky turun. Cukup untuk melonggarkan ikat pinggang dan mengamankan biaya melahirkan.

Tapi itu hanya segelintir pos-pos yang harus kami penuhi. Sementara beberapa cicilan juga sudah menunggu di depan mata, mulai dari sepeda motor, kartu kredit dan beberapa lainnya. Peralatan bayi, imunisasi, kebutuhan sehari-hari Amaranggana pun harus kami sediakan.

Mau tidak mau kami harus siap dengan keadaan ini. Beruntung Okky tidak patah semangat. Ia mencoba berbagai cara agar bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Dari mencoba memanfaatkan keahliannya dalam bidang fotografi, sampai mencoba mengolah bisnis baru berjualan susu sapi segar.

“Kita enggak tahu ini akan berapa lama, apakah nantinya akan tetap jadi karyawan atau dirumahkan. Jadi aku juga harus nambah skill. Setidaknya kita tahu apa yang harus kita lakukan nanti kalau kemungkinan terburuk itu terjadi, kita udah siap,” kata Okky sembari jemarinya bermain gawai, mencari resep masakan untuk hari ini.

“Amaranggana, perjuangan membesarkanmu hari ini akan jadi sejarah, yang akan ayah dan ibumu ceritakan kelak kamu dewasa nanti. Bagaimana jatuh bangun ayah dan ibumu saat membesarkanmu.”

“Amaranggana, tetaplah jadi bidadari untuk ayah dan ibumu, doa terbaik menyertaimu,” ujarku dalam hati.