Teknik ikat celup tie dye kembali naik popularitasnya di tengah masa pandemi Covid-19. Teknik tie dye sekilas mirip dengan teknik pewarnaan kain Jepang, shibori. Meski begitu, keduanya antara tie dye dengan shibori memiliki sejumlah perbedaan.
Tie dye adalah teknik mewarnai kain dengan cara mengikat bagian kain lalu mencelupkannya pada pewarna. Tie dye modern berkembang di Amerika Serikat dan Eropa pada 1960-an.
Di Indonesia, tie dye melekat dengan sejumlah teknik pewarnaan kain tradisional di beberapa daerah. Seperti di Palembang yang dikenal dengan nama pelangi atau cinde, di Jawa dengan nama tritik atau jumputan, dan di Banjarmasin disebut sasirangan. Teknik ini memiliki ciri khas yang menjadi pembeda antara satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara teknik serupa tapi sedikit berbeda, juga berkembang di Jepang dengan nama shibori. Dalam bahasa Jepang shibori berarti, peras. Teknik shibori merupakan teknik pewarnaan tertua di Jepang.
Teknik tersebut sudah berkembang sejak ratusan tahun lalu. Dikutip dari Japan Objects, tekstil shibori paling tua ditemukan berasal dari abad ke-8.
Shibori menggunakan benang untuk membuat banyak titik kecil berulang pada kain. Teknik ini membuat warna dan corak yang dihasilkan lebih detail dan rumit dibandingkan tie dye biasa.
Tie dye biasa umumnya menggunakan satu ikatan untuk memelintir dan mengikat bagian tengah kain sehingga menciptakan desain spiral. Shibori menggunakan sejumlah ikatan.
Lihat juga:7 Pilihan Pewarna Alami untuk Kreasi Tie-dye |
Tie dye cenderung memiliki spektrum warna yang beragam seperti pelangi. Sedangkan shibori hanya berupa satu warna.
Selain itu, shibori juga memiliki berbagai teknik pengembangan. Secara umum terdapat enam teknik dasar shibori yakni kuma, miura, kanoko, arashi, nui, dan itajime. Setiap teknik memiliki cara pewarnaan yang berbeda.
(ptj/nma)