Viral Kamar Kos Penuh Sampah, Kenali Tanda Hoarding Disorder

CNN Indonesia
Jumat, 29 Jan 2021 20:16 WIB
Hoarding disorder sendiri merupakan gangguan mental yang ditandai dengan kegemaran seseorang menimbun atau menyimpan barang-barang secara berlebihan.
Ilustrasi. Hoarding disorder merupakan gangguan mental yang ditandai dengan kegemaran seseorang menimbun atau menyimpan barang-barang secara berlebihan.: iStockphoto/richjem
Jakarta, CNN Indonesia --

Video viral mengenai kamar kos yang penuh dengan sampah tengah ramai jadi perbincangan di media sosial.

Video yang diunggah pemilik akun TikTok @akuinezaryns ini menunjukkan kamar tetangga kosannya yang punya kebiasaan gemar menimbun sampah, mulai dari bekas botol kemasan, boks makan, hingga pembalut. Saking kotornya, kamar sudah dihuni kecoak-kecoak.

Sampah yang seharusnya dibuang malah ditimbun sampai kondisinya tidak karuan. Kondisi ini pun dikaitkan sebagai gangguan penimbunan atau hoarding disorder.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hoarding disorder sendiri merupakan gangguan mental yang ditandai dengan kegemaran seseorang menimbun atau menyimpan barang-barang secara berlebihan.

Sebagaimana dikutip dari laman Psychiatry, orang dengan hoarding disorder kesulitan untuk menyingkirkan atau berpisah dengan benda apa pun yang ada di sekitarnya.

Namun, menimbun dalam kerangka hoarding disorder berbeda dengan kegemaran untuk mengumpulkan barang-barang tertentu seperti yang dilakukan para kolektor.

Pada orang dengan hoarding disorder, penimbunan sering kali dilakukan secara acak dan sembarangan. Ada yang merasa barang tersebut berguna di masa depan, ada pula yang merasa tumpukan barang membuat mereka merasa aman.

Seperti kasus kamar kos berantakan yang diunggah di TikTok, penimbunan menciptakan kondisi sesak. Seluruh permukaan ditempati barang sehingga melangkahkan kaki pun seperti melewati jalan berkelok dan sempit.

Penimbunan berkisar ringan hingga berat. Dalam beberapa kasus, penimbunan tidak berdampak banyak dalam hidup. Namun di kasus lain, ini sangat mempengaruhi hidup. 'Hoarding' berbeda dengan mengoleksi.

Akibatnya, itu bisa timbul masalah dalam relasi dengan pasangan, relasi sosial maupun aktivitas sehari-hari. Potensi serius dari gangguan ini adalah soal keamanan dan kesehatan.

Kasus kamar kos berantakan bisa memicu masalah kesehatan penghuninya karena lingkungan kamar tidak sehat. Kemudian pasien bisa dikucilkan dari pergaulan bahkan dijauhi keluarga juga aktivitas sehari-hari terganggu. Bayangkan, hanya untuk mandi saja, menuju kamar mandi jadi persoalan sulit.

Dikutip dari WebMD, hoarding disorder termasuk dalam kategori gangguan mental yang langka. Secara global, hanya 2-5 persen orang didiagnosis memiliki hoarding disorder.

Beberapa penelitian menyebut buat beberapa orang dengan hoarding disorder parah jadi bentuk lain dari obsessive-compulsive disorder (OCD). Studi lain menyebut hoarding disorder bisa berhubungan dengan ADHD atau demensia.

Digital hoarding

Di dunia yang serba digital, urusan menyimpan tak lagi soal barang yang tampak fisik tetapi juga tidak tampak fisik. Sebuah studi pada 2015 mendeskripsikan apa yang disebut dengan digital hoarding.

"Digital hoarding adalah akumulasi dokumen digital tanpa tujuan yang mana perlahan menimbulkan stres dan tak teratur. Meski digital hoarding tidak mempengaruhi tempat tinggal, itu bisa berdampak pada fungsi sehari-hari," tulis peneliti, dikutip dari The Conversation.

Kemudian pada 2020, Nick Neave dari Northumbria University bersama koleganya menerbitkan studi hasil survei ratusan orang dengan gejala digital hoarding. Studi bertujuan untuk mengkonseptualisasikan digital hoarding hingga akhirnya memberikan empat klasifikasi digital hoarding.

1. Anxious hoarder

Alasan menimbun lebih bertujuan untuk berjaga-jaga. Ada rasa takut kehilangan sesuatu yang penting atau diperlukan di masa depan.

Anxious hoarder, dalam studi, dicirikan orang menyimpan hampir tiap email atau dokumen yang mereka terima entah itu akan berpotensi digunakan atau tidak.

Akumulasi data akan memberikan rasa aman dan nyaman.

2. Compliant hoarder

Suatu dimensi menimbun yang umum di tempat kerja biasanya menimbun sesuai instruksi. Suatu struktur organisasi membuat orang menimbun data digital.

Tidak ada ikatan emosional dengan konten digital dan akan menghapus jika tidak diperlukan. Secara psikologis ini tidak mengganggu, tetapi berpengaruh pada organisasi. Makin banyak data disimpan, makin besar serangan dunia maya dan pencurian data.

3. Disengaged hoarder

Penimbun satu ini dicirikan kemalasan atau kurang terorganisir. Data terakumulasi dari waktu ke waktu dan berakhir dengan kekacauan digital. Penimbun pun tidak peduli dengan data yang terkumpul atau disengaged.

4. Collector

Aktivitas mengoleksi dan menimbun kadang beda tipis serta masih jadi perdebatan. Dalam studinya, Naeve dan tim memberikan klasifikasi baru yakni kolektor.

Kolektor akan sangat spesifik dengan kategori dan susunan materi. Mereka pun begitu bangga dengan betapa rapi kontennya.

Kolektor pun ada rasa memiliki konten digital meski data itu secara eksplisit bukan miliknya misal email pekerjaan.

(els/agn)


[Gambas:Video CNN]
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER