Menjalani kehidupan rumah tangga tak hanya melibatkan suami dan anak, tetapi juga mertua. Meski menantu sejatinya juga anak sendiri, tetap saja ada beragam konflik antara menantu dan mertua.
Survei menunjukkan mayoritas istri mengaku sempat kesulitan menjalin hubungan baik dengan mertua. Rupanya, ketidakcocokan sifat dan prinsip jadi alasan konflik utama antara menantu dan mertua.
Survei yang diinisiasi oleh Teman Bumil dan Populix melibatkan 995 responden istri/ibu di seluruh Indonesia. Sebanyak 32 persen responden mengaku ketidakcocokan sifat dan perilaku kerap memunculkan konflik dengan mertua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, adapun penyebab konflik yang ditemukan dalam survei antara lain, mertua ikut campur dalam urusan rumah tangga (17 persen), kebiasaan ikut campur mertua dalam mengurus anak (14 persen), kritik mertua dalam proses kehamilan (7 persen) juga penyebab lain yang beragam (3 persen).
Psikolog Ajeng Raviando menuturkan perbedaan ekspektasi masing-masing pihak juga bisa memicu konflik menantu-mertua. Menantu dan mertua masing-masing memiliki asumsi dan ekspektasi.
Namun ekspektasi dan asumsi ini tidak sesuai kenyataan sehingga bisa memicu konflik. Ajeng pun menekankan pentingnya masa orientasi selama menjadi calon menantu alias selama masa pacaran.
Calon menantu perlu sadar bahwa dirinya adalah 'pendatang baru' dalam keluarga calon pasangan. Tiap keluarga memiliki kebiasaan dan budaya berbeda sehingga calon menantu diharapkan mau terbuka terhadap hal-hal baru dalam keluarga tersebut.
"Kan ya namanya orang baru, ya harusnya kan sebagai menantu yang berusaha untuk lebih mengenal, lebih memahami, kira-kira aturannya seperti ini. Ya pasti memang belum paham, tapi perlu menyesuaikan diri si Pendatang baru ini, bukan yang sudah terbiasa dengan tradisi lama atau dalam hal ini mertuanya," kata Ajeng dalam rilis resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (3/6).
Kemudian, dukungan suami diperlukan dalam menyikapi konflik antara sang istri dan ibundanya. Mayoritas suami (81 persen) disebut mendengarkan, menenangkan dan berusaha meluruskan konflik.
Sementara itu, ternyata konflik juga bisa terjadi saat pasangan sudah memiliki anak. Konflik terjadi seputar pengasuhan anak di mana mayoritas responden berkonflik dengan mertua akibat perbedaan cara merawat anak termasuk cara memandikan juga mengganti popok (48 persen).
Konflik pun bisa muncul akibat pola dan kebiasaan makan anak (35 persen), waktu bermain dan tidur anak (17 persen), batasan penggunaan gawai (12 persen) dan seputar masa depan anak (8 persen).
Ajeng berpendapat jika mertua tidak menyadari terdapat perbedaan seputar perawatan anak, tak ada salahnya menantu mengupayakan kompromi dan diskusi demi keharmonisan. Langsung menolak saran mertua bisa berisiko menyakiti perasaan mertua dan ada kemungkinan saran ini baik sehingga sebaiknya dipertimbangkan terlebih dahulu.
Dia menambahkan tidak ada salahnya mengajak mertua untuk turut serta dalam webinar perawatan bayi. Dalam sekali jalan, mertua memperoleh pengetahuan baru dan mendapat gambaran akan pola asuh yang Anda anut. Cara ini pun akan menumbuhkan diskusi sehingga ada kesepakatan pola asuh yang dirasa cocok dan bisa dijalankan bersama.
"Yang penting itu, bersyukur dan pandai melihat apa yang bisa kita syukuri. Kedua, jangan mudah emosi negatif. Ketiga, perlu diingat kalau semua masalah tidak akan selesai dalam waktu singkat. Memang butuh proses dan kita harus yakin bahwa lama-lama kita bisa solving the problem juga selama kita mengupayakan cara penyelesaiannya," katanya.
(els/agn)