Menjadi seorang ibu bukanlah perkara mudah. Tekanan menjadi seorang ibu untuk mengasuh anak ini tak jarang membuat seorang perempuan memilih childfree.
Pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati mengatakan, salah satu titik pusat gerakan childfree pada dasarnya ada pada perempuan.
Perempuan, lanjut Devie, memiliki otoritas untuk melahirkan anak. Selain melahirkan anak melalui tubuhnya, perempuan juga dibebankan oleh sudut pandang patriarki yang masih menganggap bahwa tanggung jawab tumbuh kembang anak ada pada mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Salah satunya ternyata kenapa perempuan menolak untuk punya anak itu karena cara pandang patriarki masih kuat. Itu apa? Kalau udah urusan anak, semua jadi tanggung jawab perempuan," kata Devie dalam program Secret at Newsroom CNNIndonesia.com 'Ingar-bingar Childfree', Jumat (24/3).
Harapan kualitas tinggi dalam tumbuh kembang anak dibebankan kepada perempuan. Persepsi inilah, yang menurut Devie, membuat perempuan merasa terpojok dan tidak didukung sehingga kemudian memilih untuk tidak memiliki anak alias childfree.
"Bagi perempuan, apalagi yang punya kepentingan terhadap hal [punya anak], dia enggak merasa didukung. Karena punya anak bukan cuma soal melahirkannya, tapi tumbuh kembangnya seperti apa," jelas Devie.
Menurut Devie, yang perlu diperbaiki adalah bagaimana cara pandang masyarakat untuk membangun keluarga dan membesarkan anak. Di mana tanggung jawab mengurus anak seharusnya bisa jadi kepentingan semua orang dan bukan hanya diserahkan kepada perempuan.
Hampir senada dengan Devie, Kei Savourie juga menilai bahwa merebaknya childfree menjadi salah satu tanda bahwa perempuan kini semakin kuat. Kei sendiri merupakan salah seorang yang memilih menjadi childfree bersama istrinya.
"Menurut saya, fenomena childfree ini jadi salah satu bukti bahwa perempuan sekarang sudah punya power. Jadi makin setara dan enggak lagi diatur sama orang di luar dia. Dia yang punya kuasa atas tubuhnya sendiri," ujar Kei dalam kesempatan yang sama.
Menurut Kei, di zaman yang semakin berkembang ini, perempuan telah memiliki wewenang atau kuasa yang lebih kokoh untuk menentukan pilihannya.
"Beda dengan zaman dulu ketika perempuan enggak bisa bersuara. Kalau disuruh punya anak, ya harus punya anak. Tekanan dari orang tua atau dari suami," ucap Kei.