Turis asing 'gembel' atau disebut begpacker menjadi masalah baru bagi sejumlah negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Begpacking merupakan gabungan kata dari begging atau mengemis dan backpacking. Istilah tersebut dipakai untuk mendeskripsikan secara negatif turis yang meminta uang ke publik demi memenuhi biaya perjalanan mereka.
Menurut laporan CNN, biasanya tujuan para begpacker ini Asia Tenggara mencakup Indonesia, Malaysia, dan Thailand serta di Asia Selatan yakni India.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia, turis asing di Bali sempat menjadi sorotan karena aksi mereka seperti melanggar lalu lintas, berkelahi, transaksi narkoba, hingga berpura-pura jadi gelandangan.
Kelakuan nakal para WNA itu terekam dalam video dan beredar di media sosial. Jika mereka tak mematuhi aturan setempat para turis asing ini terancam dideportasi.
Setelah melonggarkan pembatasan Covid-19, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di RI melonjak lebih dari 200 persen.
Berdasarkan data pemerintah, pada 2022 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 5,47 juta, sementara tahun sebelumnya 1,5 juta kunjungan.
Di Thailand 11,5 juta turis asing mengunjungi negara itu pada 2022. Tahun sebelumnya, padahal hanya 428 ribu turis.
Akademisi yang tahu banyak soal backpacking dari University of Central Florida, Stephen Pratt, membagi kategori begpacker menjadi tiga.
Kategori itu di antaranya turis 'gembel' yang mengamen; mereka yang menjual barang seperti perhiasan, kartu pos, atau yang lain; dan mereka yang hanya meminta uang.
Berdasarkan eksperimen sosial Pratt dan rekannya, orang-orang cenderung menghargai upaya mereka yang mengamen atau menjual barang tertentu.
Pratt juga menerangkan ada pergeseran pandangan terkait backpacker usai media sosial Instagram dan Facebook muncul.
Menurut dia, banyak netizen yang mencela begpacker. Mereka menilai para turis ini harus cukup secara ekonomi untuk memulai petualangan.
"Ini memang menunjukkan, 'apakah perjalanan internasional hanya untuk kelas orang tertentu atau orang dengan jumlah pendapatan tertentu?'" Kata Pratt.
Ia lalu berujar, "Saya pikir turis sendiri sekarang lebih bertanggung jawab daripada di masa lalu."
Dosen dari Institut Bahasa di Universitas Thammasat di Thailand, Joshua Bernstein, mengatakan kemarahan seputar backpacker berhubungan dengan masalah gentrifikasi dan hak istimewa.
Lihat Juga : |
Bernstein mengamati para pengemis di Bangkok dan menyimpulkan bahwa penduduk setempat jauh lebih tertarik berhenti, mengobrol, atau membeli barang daripada warga asing.
"Ada pemolisian yang dilakukan ekspatriat di antara mereka sendiri. Kadang-kadang ada ketidakramahan yang dimiliki ekspatriat satu sama lain tentang 'Saya tidak ingin Anda merusak ini untuk saya' atau 'Saya tidak ingin Anda membuat saya terlihat buruk.' Ada banyak jenis sentimen seperti itu."
Dia menunjukkan orang yang mengemis tidak menjadi kaya. Mereka juga hanya tinggal di hostel murah seharga dan makan di warung tepi jalan, bukan restoran mahal.
Terkait hak istimewa itu, pengacara hak asasi manusia di Filipina, Raphael Pangalangan, menyoroti privilege paspor dalam sebuah kolom pada April lalu.
Anggota negara uni Eropa bisa dengan mudah berkeliling benua dibanding orang seperti Pangalangan yang butuh waktu mengurus dokumen untuk bepergian ke luar negeri.
"Begpacking memperlihatkan standar ganda hak istimewa paspor dan mengungkapkan ketidaksetaraan yang melekat dalam masyarakat global kita," tulis Pangalangan
"Jika sepatunya ada di kaki lain [bukan warga Eropa], backpacker akan disebut gelandangan," lanjut dia.
(isa/pua)