Denyut lautan rupanya jadi denyut ekonomi Mentawai. Ombak Mentawai siap menjamu para peselancar dunia dengan 'geraknya' yang indah dan tak ditemui di berbagai belahan dunia.
Steyn Jaco, pria asal Afrika Selatan sekaligus pemilik Kingfisher Resort, tidak bisa membayangkan dirinya bekerja kantoran jam 9 sampai 5 sore. Secara sadar, dirinya memutuskan ke Mentawai dan membeli tiga bungalo pada 2015.
Dengan mengelola resort di Pulau Sipura, Jaco mengenal papan selancar dari para tamu dan mencoba berselancar bersama warga lokal. Dulu kegiatan ini tidak dijadikan bisnis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada orang di sana untuk mencari uang. Mereka ada di sana untuk mendapatkan ombak...Kami hanya terpaku pada keindahannya dan ombaknya," ujar Jaco seperti dilaporkan Stuff.
Di tahun itu, kesibukan mulai terasa. Resort dan kamp peselancar bermunculan. Jasa penyewaan kapal menjamur demi bisa mengakses ombak.
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah wisatawan mancanegara yang ke Mentawai terus meningkat. Di 2011 tercatat sebanyak 4.120 orang, kemudian bertambah 6.569 orang di 2015 lalu sebanyak 12.325 orang pada 2018.
Pada 2016, pemda setempat menerapkan pajak selancar sebesar Rp1 juta selama 15 hari. Peselancar kemudian diberi gelang sebagai tanda mereka sudah membayar.
Orang Mentawai yang biasa mendapatkan penghasilan dari kelapa, kayu dan cengkeh kemudian mendapatkan penghasilan dari ombak lautan. Wisata selancar ternyata menjanjikan.
Barnabas, warga lokal pemilik Arthur Homestay, menganggap ketimbang uang tunai, dirinya memilih berinvestasi pada aset modal usaha seperti speed boat mumpuni untuk mencapai ombak.
Saya punya dua anak perempuan dan dua laki-laki. Hal pertama yang saya inginkan untuk anak-anak saya adalah pergi ke universitas yang berkualitas. Kemudian membuka usaha di Mentawai, karena peluang bagus," ujarnya.
Dia berkata peluang ekonomi di Mentawai membuat banyak orang tertarik untuk membeli tanah di sana. Namun warga tidak berniat menjual tanah mereka. Pun warga tidak memikirkan tanah tetapi bagaimana memiliki perahu sendiri.
"Saya ingat ditawari sebidang tanah pertama saya dan harganya Rp10 ribu sampai jadi satu dolar per satu meter persegi. Mungkin akan mencapai 300 ribu sampai 400 ribu [per] meter persegi sekarang," imbuhnya.
Sementara itu, dulu akses komunikasi di Mentawai tak sebaik sekarang. Tepat sebelum pandemi, layanan telepon seluler 'merambah' Mentawai. Hal ini mengubah banyak hal.
Dulu, orang luar harus punya kenalan warga Mentawai untuk membeli tanah. Kini, cukup dengan internet, orang bisa beli tanah tanpa harus menginjakkan kaki di Mentawai.
Harapan akan perkembangan wisata Mentawai pun makin bersinar. Akses transportasi semakin mudah. Jaco berkata kapal feri tak akan batal akibat cuaca.
"Begitu bandara sudah berdiri, pulau ini akan meluas. Pemerintah Indonesia sedang mendorong keras untuk menjadikannya tujuan wisata. Kami mendapat banyak bantuan untuk infrastruktur, dengan pajak selancar, mendorong untuk menjadikannya tujuan liburan," ujarnya.
(els/dzu)