Tes baca, tulis, dan hitung (calistung) menjadi momok tersendiri bagi orang tua ketika anak memasuki jenjang sekolah dasar (SD). Sebagai penentu penerimaan murid di SD, orang tua jadi berupaya segala cara agar anak mampu calistung.
Akibatnya, terjadi beragam miskonsepsi terkait calistung, mulai dari satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang berusaha agar anak menguasai calistung dengan cepat, sampai orang tua yang memaksa anak mengikuti berbagai kursus.
Padahal, bagi seorang anak usia dini, bermain adalah belajar. Untuk itu, pemerintah melalui gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan sudah melarang tes calistung dijadikan sebagai syarat utama penerimaan anak
di SD/MI.
Dyah Resti Kurniasari adalah salah satu dari sekian banyak orang tua yang baru mengetahui bahwa tes calistung tidak wajib diadakan oleh sekolah dalam PPDB untuk SD, saat Merdeka Belajar Episode ke-24 bertajuk "Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan" diluncurkan.
Informasi itu membuat Dyah lega, bahwa anaknya akan diterima apa adanya. Selain itu, materi pembelajaran tersebut akan diajarkan bertahap saat anak masuk SD.
Awalnya, Dyah yang merupakan orang tua murid kelas 1 SD Negeri Kenari, Jakarta Pusat, sempat ragu saat mendaftarkan sekolah sang anak. Dia takut anaknya tidak diterima, karena latar belakang si anak yang mengikuti TK secara daring.
"Anak saya latar belakangnya tidak melakukan TK offline (full online), hanya bertemu guru seminggu dua kali lewat zoom. Sebetulnya agak khawatir (saat PPDB) karena tidak pernah melalui kelas rutin bertemu dengan banyak orang," kata Dyah.
Kecemasan Dyah berubah menjadi kebahagiaan saat anaknya lulus PPDB di sekolah tujuan. Tidak ada tes calistung saat penerimaan dan selama dua minggu pertama masuk sekolah, yang ada adalah Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) antara anak dan sekolah.
"Anak saya bercerita bahwa SD sama menyenangkan seperti di TK. Saat MPLS guru juga menerapkan hal seperti itu. Di dua minggu pertama itu anak saya benar-benar senang dan merasa nyaman berada di SD," kata Dyah.
![]() |
Kebahagiaan Dyah bertambah ketika SD tempat anaknya bersekolah turut memperhatikan masalah kematangan emosional anak, sebagai kemampuan fondasi dalam masa transisi dari PAUD ke SD kelas awal.
Dyah bercerita, sekolah mengundang pendongeng dengan boneka yang bercerita mengenai kisah seorang ayah yang mencari nafkah agar anak bisa sekolah. Menurutnya, tema dongeng tersebut diberikan agar anak berpikir sendiri, bahwa orang tua bekerja keras hingga dirinya bisa sekolah.
"Itu sangat membekas sekali untuk anak saya. Ternyata anak SD sudah bisa memiliki kematangan emosional. MPLS itu yang menjadi gongnya, sehingga anak saya menjadi senang," kata Dyah.
Dalam proses MPLS, Dyah juga merasakan sekolah membangun kolaborasi sehingga masa transisi jadi mengasyikkan. Perkembangan anak di sekolah terus diinformasikan oleh guru pada orang tua, termasuk berbagai keperluan pelengkap proses belajar-mengajar.
"Kami punya grup WA tersendiri untuk komunikasi dengan guru. Selama MPLS, diinformasikan untuk pakaian apa yang digunakan, karena tidak diwajibkan untuk menggunakan pakaian seragam baru. Informasi mengenai anak yang tiba-tiba menangis juga dikabarkan. Ada keterikatan emosional antara guru dan orang tua," kata Dyah.
Adapun penerapan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama turut menjadi perhatian SDN 2 Percontohan Blangkejeren, Gayo Lues, tempat Fitria Ratnawati mengajar.
Fitria yang merupakan guru kelas 1 menyadari bahwa MPLS ini penting, berharap satuan sekolah dapat memfasilitasi anak serta orang tua untuk berkenalan dengan lingkungan belajarnya. Sehingga, peserta didik baru dapat merasa nyaman dalam kegiatan belajar.
Fitria menceritakan, MPLS yang berlangsung dua minggu berdampak sangat baik bagi murid, karena murid jadi tahu tentang kondisi sekolah secara keseluruhan. MPLS juga menjadi kesempatan bagi guru untuk menjalin silaturahmi dengan orang tua murid.
"Bersilaturahmi dan bersinergi dengan orang tua membuat kita tahu, akan kita bawa kemana murid-murid yang masih dalam masa transisi ini," kata Fitria.
Pada masa MPLS, sekolah Fitri ingin menghadirkan kesan terbaik bagi murid, sehingga murid merasa SD sama menyenangkan dengan PAUD. Salah satunya, dengan menyingkirkan kursi di ruang kelas, sehingga penataannya menyerupai ruang kelas PAUD.
"Kami juga mengajak anak-anak untuk dapat bercerita tidak hanya dengan guru kelas 1, tetapi semua guru, agar murid merasakan bahwa sekolah SD sama menyenangkan dengan PAUD," papar Fitri.
Menghadirkan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan merupakan salah satuan capaian yang diharapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sejalan dengan ungkapan Mendikbudristek dalam peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-24 bertajuk Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, pada 28 Maret 2023.
Dalam pidatonya, Nadiem mengungkapkan bahwa Transisi Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan adalah sebuah gerakan bersama dengan tiga target perubahan yang harus dilakukan agar tujuan dari gerakan ini dapat terimplementasikan dengan baik.
Target perubahan pertama, kata Nadiem, adalah menghilangkan tes baca, tulis, hitung (calistung) dari proses PPDB pada SD/MI/sederajat. Hal ini penting dilakukan karena setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar. Sebab pendidikan dasar adalah hak setiap anak, terlepas anak sudah menguasai calistung atau belum.
Terlebih, proses untuk dapat calistung tidak instan, sehingga lumrah ditemui kemampuan ini baru muncul saat anak duduk di SD.
"Sangat tidak adil mensyaratkan anak harus bisa calistung untuk mendapatkan hak layanan dasarnya," kata Nadiem.
Kedua, penerapan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama, dengan harapan satuan PAUD dan SD/MI/sederajat dapat memfasilitasi anak serta orang tua untuk berkenalan dengan lingkungan belajar. Sehingga, peserta didik baru dapat merasa nyaman dalam kegiatan belajar.
Ketiga, penerapan pembelajaran untuk membangun enam kemampuan fondasi anak di satuan pendidikan di PAUD dan SD/MI/sederajat yaitu, mengenal nilai agama dan budi pekerti; keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi; serta kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar.
Berikutnya, adalah kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi; pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri; dan pemaknaan terhadap belajar yang positif.
Praktik baik terkait transisi PAUD ke SD juga telah diimplementasikan oleh ekosistem pendidikan di berbagai daerah di Indonesia. Terdata, sebanyak 501 dari 514 Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota telah menerbitkan Surat Edaran mendukung Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan.
Selain itu, sebanyak 6.273 satuan pendidikan PAUD, 52.987 satuan pendidikan SD, 9.979 guru PAUD, dan 168.987 guru SD telah melakukan aksi nyata gerakan ini, yang sudah tersedia di PMM (Platform Merdeka Mengajar) pada awal tahun ajaran baru dan sepanjang tahun ajaran, diikuti berbagai praktik baik lain.
(adv/adv)