Asosiasi Ibu Menyusui (AIMI) mengungkap angka menyusui di Indonesia mengalami penurunan. Ini terjadi salah satunya disebabkan oleh gencarnya promosi susu formula (sufor).
ASI penting dalam masa seribu hari kehidupan awal bayi. Hanya saja, jika menilik status menyusui di Indonesia, angkanya mengalami penurunan.
Sekjen AIMI Lianita Prawindarti mengungkap data UNICEF 2018 menunjukkan angka menyusui eksklusif sebanyak 64,5 persen. Kemudian data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2021 ada sebanyak 52,5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"SKI 2023 ini data tiap provinsi, kalau dirata-rata ada 55,5 persen. Naik sedikit dari 2021. Tapi sebetulnya sudah turun signifikan, mungkin karena pandemi karena ada hambatan di awal ibu baru melahirkan harus isolasi," kata Lianita dalam webinar Pekan Menyusui Dunia 2024, Rabu (31/7).
Namun yang paling mengejutkan, lanjut dia, data Riskesdas menunjukkan 81,4 persen proses menyusui terganggu karena penggunaan susu formula.
Keputusan menggunakan susu formula (sufor) ini tanpa ada indikasi medis. Lianita mengamati saat ibu merasa ASI kurang, ibu langsung banting setir dari menyusui ke pemberian sufor.
"Pakai sufor ini biasanya jadi pintu gerbang proses terhentinya menyusui, terutama yang digunakan bukan karena indikasi medis," ujarnya.
Angka menyusui ini kian menarik saat dibandingkan dengan nilai pasar (market value) sufor di Indonesia. Data 2009 dibandingkan 2014 menunjukkan peningkatan sampai sekitar 96 persen.
Pada 2022, angka nilai pasar sufor menyentuh angka US$2,8 miliar. Lianita menambahkan tahun ini angka diperkirakan naik menjadi US$5,1 miliar.
"Ini dua fenomena saling contrary. Market value naik, angka menyusui turun sesuai data Riskesdas. Ini memprihatinkan terlebih pemasaran produk pengganti ASI sangat signifikan," katanya.
(els/pua)