Viral Ranu Manduro di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, jadi bukti kekuatan media sosial bagi industri wisata. Namun informasi yang sifatnya sepotong ini tentu kalah dengan informasi yang disajikan media arus utama atau media mainstream.
Awal 2020 beredar video yang menunjukkan keindahan alam, ada bukit lalu padang rumput.
Netizen mengira pemandangan indah itu ada di Selandia Baru. Padahal nyatanya, video sedang memperlihatkan Ranu Manduro yang terletak di Mojokerto, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Titin Rosmasari, Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, bercerita hasrat orang untuk berwisata sangat tinggi apalagi sedang ketat-ketatnya lockdown. Video mendadak viral dan menyedot kunjungan wisatawan.
"Kalau cuaca bagus, memang seindah di video. Pas enggak bagus, enggak hanya sabana, ada juga kabut. Tapi video itu seperti mengelabui. Dari media massa, kami angkat, ya itu memang indah, tapi tak seindah aslinya," kata Titin dalam Forum Tematik Bakohumas Kemenparekraf, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (6/8).
Ranu Manduro sebenarnya bukan merupakan destinasi wisata.
Lokasi tersebut bekas lahan tambang yang tidak tertata. Akses jalan menuju lokasi masih terbilang tidak layak, kemudian tidak ada fasilitas yang mendukung kegiatan wisata seperti toilet dan parkir.
Di satu sisi, viral Ranu Manduro membawa dampak baik bagi warga setempat. Di sisi lain, saat itu warga dan lokasi belum siap menerima kunjungan wisatawan.
Selain itu, pengunjung yang berniat menikmati keindahan lokasi seperti diberi 'kejutan' sebab akses ke lokasi yang kurang layak.
"Media memberikan klarifikasi, informasi yang sesungguhnya, dibanding video atau konten yang sifatnya singkat. Fenomena Ranu Manduro banyak. Media non mainstream informasi bisa saja tidak detail, enggak lengkap, mungkin untuk viral aja, gimmick," ujarnya.
Media sosial atau media non-mainstream memang begitu personal dan dekat dengan penggunanya. Namun fakta bahwa media mainstream mampu memberikan informasi yang lengkap dan terverifikasi tentu tidak bisa dielakkan.
Terlebih di tengah kebangkitan industri pariwisata, Titin merasa peran media mainstream masih penting. Pun kini media mainstream terus melakukan inovasi agar tetap bisa bersaing di tengah tsunami informasi di era digital.
"Kami, media, yang mendetailkan, mengkurasi, memberikan konteks, kami perlahan makin cepat membaur dan dekat dengan publik," katanya.
(els/pua)