Setop, Jangan 'Kuliti' Privasi Korban Femisida

CNN Indonesia
Rabu, 09 Okt 2024 16:30 WIB
Ilustrasi. Media sosial tak jadi tempat yang aman bagi korban maupun keluarga korban femisida. (Istockphoto/PeopleImages)
Jakarta, CNN Indonesia --

Masih teringat dalam benak kasus pembunuhan wanita dalam koper beberapa waktu lalu. Kasus itu menjadi salah satu tanda bahwa femisida masih menjadi ancaman di tengah masyarakat.

Komnas Perempuan mencatat, angka femisida di Indonesia masih terus mengkhawatirkan. Pada tahun 2020, tercatat ada 95 kasus femisida. Angka itu meningkat pada 2021 dengan 237 kasus dan 307 kasus pada 2022.

Data teranyar mencatat sebanyak 159 kasus femisida pada tahun 2023.

"Kasus femisida di Indonesia banyak terjadi, khususnya femisida intim," ujar ahli studi gender Indonesia Monash University Sharyn Davies kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/10).

Femisida intim sendiri merupakan kasus pembunuhan terhadap wanita yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban seperti pasangan.

Sayangnya, baik korban maupun keluarga korban femisida belum mendapatkan perlindungan yang maksimal. Tak perlu jauh-jauh menyasar perlindungan di ranah hukum, di media sosial sekali pun, sering kali privasi korban dan keluarga terancam.

Tak sedikit warganet yang merespons kasus-kasus femisida dengan cara yang salah. Alih-alih menghormati privasi, warganet justru menguliti kehidupan korban dan kadang beserta keluarganya.

"Hal ini cukup mengkhawatirkan karena isu ini merupakan isu sensitif," ujar Davies.

Ia berharap agar masyarakat sadar akan pentingnya melindungi privasi korban di media sosial.

"Media sosial dapat membantu perlahan mematahkan stigma-stigma dan domestikasi yang terjadi. Jadi, korban itu harus dilindungi, termasuk di media sosial," ujarnya.

Davies tak menampik bahwa kehadiran media sosial juga memegang peranan penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman femisida. Media sosial, lanjut dia, bisa menjadi medium untuk menghapus stigma-stigma negatif terhadap korban.

Stigma-stigma negatif ini pula yang membuat kasus femisida sering sulit terdeteksi.

"Stigma-stigma yang masih menempel hingga saat ini menjadi faktor juga kenapa kasus-kasus femisida jarang dilaporkan dan dicatat oleh pemerintah," ujar Davies.

Davies mengajak masyarakat agar lebih bijak merespons kasus femisida, utamanya di media sosial. Caranya adalah dengan tidak perlu menguliti privasi korban hingga mengulik data pribadi.

Alih-alih fokus dan penasaran dengan korban, lebih baik cari tahu lebih banyak terkait kondisi femisida di Indonesia.

"Kita bisa lebih kritis untuk menerima berita dengan memilah mana yang baik untuk kita. Cari tahu lebih terkait fenomena femisida di Indonesia," ujarnya.

(pli/asr)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK