Seperti apa Indonesia di tangan para ksatria mode versi Majalah Dewi? Sejauh Mata Memandang, Denny Wirawan dan Adrian Gan menerjemahkan 'Indonesiana' dalam pagelaran Dewi Fashion Knights (DFK) sekaligus menutup gelaran Jakarta Fashion Week (JFW) 2025.
DFK selalu jadi suguhan yang dinanti penikmat mode. Sebagai mata acara penutup gelaran JFW, DFK selalu memberikan kejutan lewat karya-karya desainer kenamaan.
Lihat Juga :![]() Jakarta Fashion Week 2025 Kontras Feminin-Maskulin di Tangan Tities Sapoetra & Danjyo Hiyoji |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kali ini, DFK mempersembahkan karya jenama Sejauh Mata Memandang, Denny Wirawan, dan Adrian Gan di bawah tajuk 'Indonesiana'.
'Indonesiana' diambil guna menghormati cerita masa lalu, masa kini, dan masa depan Indonesia.
Di bawah pendiri dan direktur kreatif Chitra Subyakto, Sejauh Mata Memandang (SMM) mengusung tema 'Republik Sebelah Mata'.
Secara garis besar, Chitra sepertinya ingin mengambil langkah lebih jauh dengan menjadikan busana sebagai cara bertutur. Sementara panggung mode dijadikan 'speaker' tumpukan kegelisahannya.
Dia menuturkan tema diambil karena berbagai alasan, salah satunya cerita-cerita yang didengar dari para artisan, termasuk pemintal dan petani.
"Mereka cerita 'kami ini selalu dipandang sebelah mata sama orang di kota'. Ini yang sering saya dengar. Dengan situasi akhir-akhir ini seperti masyarakat juga kadang dipandang sebelah mata sama yang berkuasa," ujar Chitra dalam konferensi pers jelang pertunjukan di PIM 3, Minggu (27/10).
![]() |
Koleksi SMM yang biasa dikenal masyarakat dengan busana cantik, flowy, dan warna-warni hanya sedikit terlihat di koleksi kali ini. Masih ada siluet kebaya, luaran panjang, jaket, celana panjang, rok, kemeja, serta kain lilit. Warnanya pun didominasi putih, indigo, dan hitam dengan sedikit sentuhan merah.
SMM kali ini banyak bermain dengan material. Chitra berkata, SMM menggunakan kain olahan dari Tuban (Jawa Timur), craft denim dari mitra di Pekalongan (Jawa Tengah), tenun buatan tangan, kulit artifisial dari ampas kopi, juga upcycle perca sisa kain batik tulis dan cap.
Menggandeng seniman Eko Nugroho, SMM menghadirkan bentuk-bentuk tak biasa untuk sebuah panggung mode. Karya Eko Nugroho hadir dan 'hidup', memperlihatkan campuran kekacauan dan ketidakbebasan bersuara.
Yang menarik, terdapat bulatan dari anyaman rotan warna hitam dengan tulisan 'World Peace When?' dan 'Manusia Semakin Berisik dan Bumi Semakin Membisu'.
Lihat Juga :![]() Jakarta Fashion Week 2025 Kala BIN House Suguhkan 'Sekapur Sirih' yang Penuh Warna |
Desainer Denny Wirawan mempresentasikan sesuatu yang berbeda dari apa yang biasa ia buat. Denny yang lekat dengan warna yang kaya, kini bermain dengan nuansa elegan hitam dan emas.
Lewat koleksi 'Kembang Djiwa', Denny menyuguhkan racikan batik tulis Kudus dengan motif bunga-bunga. Menurutnya, bunga jadi elemen yang selalu ada dalam tahap kehidupan manusia, terutama di masyarakat Jawa.
"Dimulai saat manusia lahir contohnya. Di Jawa bayi lahir, ari-arinya ditanam, dikasih kurungan, diberi lampu dan bunga," kata Denny dalam kesempatan serupa.
![]() |
Kain batik tulis Kudus pun dihadirkan dalam siluet luaran, long dress, dress dengan lengan lebar dan panjang, juga kemeja. Tak hanya batik tulis, ia juga memadukan material berupa kain renda dan material yang kaku mirip dengan goni.
Motif-motif bunga pada busana semakin menonjol berkat sematan payet, manik, serta bordir. Kemudian yang unik, pada salah satu look terdapat deret huruf Jawa yang ternyata potongan puisi bahasa Jawa atau geguritan.
Adrian Gan kembali ke panggung JFW setelah beberapa tahun absen. Ia pun jadi 'gong' pertunjukan DFK dengan mengusung koleksi bertajuk 'Kala Jenggama'.
Adrian, yang akrab dengan busana pengantin tradisi Tionghoa, kini mencoba menghadirkan busana hasil asimilasi era kolonial Belanda.
Ia seolah mengajak penikmat mode mengintip Indonesia era penjajahan, tapi menggunakan kacamata modern.
![]() |
"Kita gabung perpaduan antara sebuah era di mana era kolonial ada romantisme tentang pakaian. Perpaduan busana lokal dan busana pendatang. Tapi busana dibuat lebih modern avant garde," ujar Adrian.
Dia menjelaskan, material busana menggunakan kain batik lawas dari Tuban. Kain sesungguhnya tak layak pakai sehingga di-upcycle dan 'ditolong' dengan campuran kain digital print.
Batik ini dipadukan dengan bahan renda lawas yang dimiliki Adrian sejak lama. Dua material yang kontras ini dihadirkan dalam siluet tradisional seperti kebaya, beskap, dan kutang lawasan, serta siluet modern bernuansa Eropa seperti kemeja, celana panjang, setelan jas, overall, dan halter neck dress.
Penggunaan headpiece yang menutup sebagian wajah mengingatkan pada pertunjukan Phantom of The Opera yang terkenal. Pertunjukan pun ditutup dengan tampilan 'pengantin' dengan busana serba putih pada laki-laki dan dress serba renda pada perempuan.
(asr/asr)