Cerita Rambak, 'Leluhur' Kerupuk Nusantara
Kerupuk kekinian yang hadir di banyak meja makan merupakan 'keturunan' dari rambak. Rambak disebut-sebut sebagai 'leluhur' kerupuk.
Rambak menjadi bukti bahwa camilan bernama kerupuk telah dikenal di Nusantara sejak berabad-abad silam. Rambak tercatat dalam sejumlah prasasti dan naskah kuno.
Sejarawan kuliner Fadly Rahman menuturkan, naskah Kakawin Sumanasantaka pada abad ke-13 mencatat kerupuk sebagai salah satu makanan yang diperdagangkan. Kala itu, yang dimaksud dengan kerupuk adalah rambak.
Rambak pada dasarnya merupakan kerupuk kulit. Di zaman kiwari, kerupuk jenis ini juga dikenal dengan istilah jangek di Sumatera Barat atau dorokdok bagi masyarakat Sunda.
Rambak pada masanya terbuat dari kulit kerbau atau sapi.
"Di pedalaman, kerupuk pakai bahan baku paling kuno, pakai kulit kerbau atau sapi. [Sekarang] disebut kerupuk rambak atau dorokdok [kalau di Jawa Barat]," kata Fadly, dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com.
Dalam Ensiklopedi Umum, A.G Pringgodigdo menulis lapisan selaput dibuang dan bulu hewan dihilangkan dengan cara dibakar. Kulit kemudian direbus hingga empuk dan diiris-iris untuk lantas dijemur hingga kering.
Tak seperti sekarang, kerupuk rambak digoreng dengan minyak panas. Pada masanya, rambak mentah yang dikeringkan itu diolah dengan cara disangrai menggunakan pasir.
"Yang paling banyak digunakan untuk mengolah kerupuk adalah dengan cara menyangrai," ujar Fadly.
Sejarawan pangan Andreas Maryoto mengatakan, kerbau dipilih karena agama Hindu lebih dulu berkembang di Nusantara ketimbang Islam. Sapi sendiri dianggap sebagai hewan suci dalam ajaran Hindu.
"Kemudian ketika pengaruh Islam semakin kuat, mulai ada penerimaan terhadap sapi," katanya.
Kasta tertinggi kerupuk?
Sebagian percaya bahwa rambak adalah 'kasta tertinggi' dalam kerupuk. Tak sembarang orang bisa makan kerupuk rambak. Kerupuk ini konon hanya jadi santapan para raja dan bangsawan.
"Mulanya ini [rambak] merupakan hidangan yang dikonsumsi oleh raja dan para bangsawan," ujar Ketua Umum Indonesian Gastronomy Community (IGC) Ria Amalia Oktariana Musiawan pada CNNIndonesia.com.
Rambak pada masanya, menurut Ria, murni terbuat dari kulit hewan tanpa ditambah bumbu-bumbu lain. Jika pun ada, paling-paling orang hanya menambahkan rempah.
Lihat Juga :JELAJAH JALUR SUMATERA 2024 Kenikmatan Hakiki dalam Semangkuk Mie Celor Khas Palembang |
Hanya saja, Fadly menyebut tak ada catatan spesifik soal siapa konsumen kerupuk rambak di masa lalu. Ia berpendapat, seharusnya siapa pun yang memiliki akses terhadap bahan baku rambak tak kesulitan mengonsumsinya.
"Masyarakat yang basisnya di peternakan, bukan hanya dari kalangan bangsawan saja, tapi juga kalangan menengah bawah itu dengan bahan baku yang tersedia bisa mengolah," imbuhnya.
Hipotesa di atas, menurut Fadly, muncul karena catatan pada prasasti, naskah kuno ditulis oleh pujangga di lingkungan kerajaan. Catatan tersebut tentu saja memperlihat apa yang ada di lingkungan ningrat.
(asr)