Di tengah derasnya arus informasi di era digital, tren kuliner kini bergerak begitu cepat. Hampir setiap hari, media sosial dipenuhi dengan kabar tentang restoran baru, menu kekinian, hingga jajanan viral yang memancing rasa penasaran.
Tampilan makanan yang cantik dan review menggiurkan dari para food vlogger semakin mendorong masyarakat, terutama generasi muda, untuk ikut mencoba.
Bagi banyak orang, mencicipi kuliner yang sedang hits seakan menjadi kebutuhan tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak jarang, demi eksistensi di media sosial, mereka rela antre berjam-jam hanya demi seporsi makanan viral.
Fenomena ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out)-ketakutan ketinggalan tren yang membuat orang cenderung ikut-ikutan tanpa pikir panjang.
Namun di balik antusiasme tersebut, ada satu pertanyaan mendasar yang sering luput: sudahkah makanan atau restoran itu benar-benar halal?
Karena itu, penting bagi konsumen Muslim untuk lebih kritis dan selektif. Bukan berarti tak boleh menikmati kuliner kekinian, tetapi pastikan terlebih dahulu kehalalannya.
Jangan biarkan rasa penasaran atau tekanan sosial membuat kita mengabaikan prinsip yang seharusnya dijunjung tinggi.
Klaim Halal Sepihak Bukan Jaminan
Seringkali, pelaku usaha kuliner melontarkan klaim sepihak soal kehalalan produk mereka. Frasa seperti "no pork no lard", "muslim friendly", atau "chef kami muslim" kerap digunakan untuk meyakinkan konsumen.
Namun, klaim seperti ini tidak cukup untuk memastikan kehalalan suatu produk.
Direktur Utama Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM, Muti Arintawati, menegaskan bahwa kehalalan sebuah produk tidak hanya ditentukan oleh ada atau tidaknya daging babi, melainkan mencakup keseluruhan proses produksi.
"Pada keseluruhan proses produksinya, mencakup pemilihan bahan, distribusi bahan (dari supplier ke gudang dan dari gudang ke outlet) atau menu (dari dapur pusat ke outlet), pengolahan (baik di dapur pusat maupun outlet), hingga penyajian atau penjualan," ujar Muti dikutip Rabu (9/7).
Sebagai contoh, daging sapi yang dipersepsikan halal, statusnya bisa menjadi tidak halal apabila penyembelihannya tidak sesuai syariat Islam.
Belum lagi jika peralatan masak tidak dipisahkan dengan makanan non-halal atau jika terjadi kontaminasi dengan najis seperti bahan atau menu yang terkontaminasi di fasilitas transportasi dan penyimpanannya karena bercampur dengan bahan non-halal/najis.
Kemungkinan kontaminasi najis juga bisa dari alat makan atau alat masak yang digunakan bersama antara menu halal dan tidak halal.
Misalnya pada outlet yang menggunakan fasilitas bersama pada lokasi pujasera atau foodcourt.
Pengelola pujasera biasanya memiliki kebijakan untuk menyediakan alat makan dan tempat pencuciannya secara bersama dengan penyewa lainnya, yang mungkin saja tidak semuanya halal.
Setiap produk atau menu yang terkontaminasi bahan najis maka statusnya menjadi haram. Dalam kasus seperti ini, kehalalan tidak bisa dipastikan tanpa adanya proses verifikasi resmi dari lembaga yang berwenang.
Banyak yang Mengira Halal, Ternyata Tidak
Dian Widayanti, seorang content creator yang aktif mengedukasi pentingnya produk halal, menyebut masih banyak restoran yang mengklaim halal secara sepihak.
"Ternyata masih sering ditemukan penggunaan bahan-bahan yang seharusnya tidak digunakan," kata Dian.
Beberapa bahan yang sering luput dari perhatian, antara lain:
Artinya, edukasi kehalalan tidak hanya penting bagi konsumen, tetapi juga bagi para pelaku usaha kuliner.
Saat ini, kebutuhan produk halal bagi konsumen muslim sudah diakomodir oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan UU no 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja beserta regulasi turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024.
Regulasi ini menyebutkan bahwa seluruh produk yang beredar wajib bersertifikasi halal, kecuali bagi produk haram. Namun untuk produk haram pelaku usaha tetap mempunyai kewajiban menginformasikan kepada konsumen bahwa produknya memang tidak halal.
Untuk membantu konsumen dalam memverifikasi produk halal, LPH LPPOM menyediakan platform Cari Produk Halal yang bisa diakses melalui situs www.halalmui.org atau website BPJPH di https://bpjph.halal.go.id.
Konsumen dapat dengan mudah mengecek apakah suatu restoran atau produk benar-benar sudah tersertifikasi halal.
Sementara bagi pelaku usaha yang masih bingung memulai proses sertifikasi halal, LPH LPPOM membuka layanan konsultasi melalui Call Center 14056 dan WhatsApp di 0811-1148-696.
Selain itu, Anda juga bisa terhubung dengan LPH LPPOM melalui https://halalmui.org/connect-with-us/. Secara rutin, kelas Pengenalan Sertifikasi Halal (PSH) diselenggarakan secara gratis setiap minggu ke-2 dan ke-4 https://halalmui.org/pengenalan-sertifikasi-halal/.
(inh)