Di tengah tuntutan hidup modern yang semakin tinggi, Generasi Z (Gen Z) terus didorong untuk aktif, kreatif, dan produktif. Sampai-sampai ada yang menyebut Gen Z adalah generasi paling stres. Apa penyebabnya?
Gen Z disebut punya mental lemah. Pun ada yang menyebut generasi ini juga paling rentan stres. Ada yang menampik tapi ada pula yang sepakat terlebih menilik data 2023.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menemukan penduduk usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia dengan prevalensi depresi tertinggi. Saat survei dieksekusi, penduduk usia 15-24 tahun dikategorikan Gen Z atau lahir pada 1997-2012.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stres dalam kadar tertentu diperlukan tubuh. Namun ketika berlebihan, stres bisa mengganggu fungsi dalam kehidupan sehari-hari bahkan bisa memicu masalah kesehatan mental.
Berikut beberapa hal yang umum memicu stres pada Gen Z.
Gen Z kebanyakan akrab dengan hustle culture yakni kebutuhan untuk bekerja terus-menerus dan tetap produktif tanpa henti. Dorongan untuk terus aktif membuat mereka sering mengabaikan waktu istirahat.
Dalam sebuah survei, sebanyak 68 persen Gen Z mengalami kelelahan ekstrem dan merasa bersalah ketika beristirahat.
Kini media sosial tidak hanya menjadi tempat untuk mengekspresikan diri, tetapi juga menjadi arena persaingan dan perbandingan yang intens.
Paparan konten bernuansa kesuksesan, hidup ideal, dan capaian teman sebaya atau influencer kerap bikin Gen Z merasa kurang dan tertinggal.
Selain itu, stres juga datang dari ketergantungan pada validasi lewat jumlah 'likes', komentar, dan 'views' (berapa kali ditonton).
![]() |
Candaan di media sosial soal keluh kesah hidup sebagai WNI ternyata bukan sekadar celoteh biasa. Kondisi negara berikut isu sosial dan politik ternyata bisa memicu stres Gen Z.
Stres ini berawal dari kepedulian terhadap kondisi negara yang dipicu kemudahan akses informasi. Informasi berkutat pada kekerasan, konflik kepentingan, masalah sosial yang belum diselesaikan pemerintah dan isu lain.
Ketimbang generasi sebelumnya, Gen Z melihat dunia sebagai tempat yang berbahaya. Mereka semakin pesimis memandang dunia.
Menghimpun informasi dari berbagai sumber, rasa pesimis ini datang dari keresahan akan peristiwa seperti, krisis iklim, kekerasan, kemudian ditambah Covid-19.
Di samping itu, masa depan terasa makin tidak pasti. Mendadak kehilangan pekerjaan bukan hal baru. Kemudian tugas-tugas yang biasanya dikerjakan staf, perlahan digantikan AI.
Padahal kebutuhan hidup terus naik termasuk kebutuhan dasar dan biaya perumahan.
Internet bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, internet mampu memperkecil jarak, sedangkan di sisi lain bisa memberikan jarak.
Gen Z mencurahkan sebagian besar waktu menggunakan internet sehingga sangat sedikit interaksi tatap muka dengan orang di sekitar.
Gen Z pun lebih rentan stres dan terkena gangguan kesehatan mental sebab terisolasi dari lingkungan dan kesepian.
(els)