Insiden seekor biawak yang tertabrak kereta cepat Whoosh rute Tegalluar Summarecon-Halim, tepatnya di KM 86+200 antara Stasiun Padalarang dan Karawang pada Kamis (24/7) lalu, menyebabkan perjalanan kereta tertunda selama 40 menit.
Kejadian ini menambah panjang daftar kecelakaan satwa liar di jalur kereta cepat, dengan total sepuluh biawak tewas tertabrak Whoosh sepanjang tahun ini.
Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad), Herlina Agustin, menegaskan bahwa serangkaian insiden ini harus menjadi perhatian serius bagi PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, harus banget. Ini bukan cuma soal keselamatan kereta dan penumpangnya, tapi juga soal keberadaan makhluk hidup lain yang ikut terdampak pembangunan," kata Herlina, seperti dilansir Detik, Sabtu (26/7).
Ia menambahkan, jika satwa bisa masuk ke jalur rel, berarti ada kekurangan dalam sistem pengamanan atau mitigasi lingkungan KCIC. "Ini bukan soal satu ekor biawak aja, ini soal ekosistem," tegasnya.
Herlina menjelaskan bahwa biawak adalah reptil yang memiliki teritori. Ia membenarkan dugaan bahwa insting biawak menganggap area rel kereta cepat Whoosh kini sebagai bagian dari habitat mereka yang telah beralih fungsi.
"Bisa jadi, malah kemungkinan besar iya. Biawak itu termasuk hewan yang punya teritori. Kalau rel dibangun di bekas habitat atau jalur jelajah mereka, ya mereka tetap bakal lewat situ. Mereka nggak ngerti batas proyek atau pagar KCIC. Buat mereka, itu masih rumahnya yang dulu," ungkap Herlina.
Meskipun biawak belum termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi secara nasional, Herlina menekankan bahwa biawak tetap memiliki peran ekologis penting sebagai pengendali populasi tikus dan pembersih bangkai.
"Meski belum dilindungi, bukan berarti populasinya aman-aman aja. Tekanan habitat, polusi, dan konflik dengan manusia bikin jumlahnya makin terdesak di beberapa daerah," terangnya.
Herlina mendesak pihak KCIC untuk mulai serius dalam menyusun dan menerapkan sistem mitigasi lingkungan yang komprehensif. Ia menyarankan agar fokus tidak hanya pada aspek teknologi kereta, tetapi juga pada perlindungan satwa.
"Misalnya bikin pagar yang beneran aman, sistem monitoring satwa (pakai kamera jebak, sensor gerak, atau drone), dan bekerja sama dengan ahli ekologi buat bikin koridor satwa atau jalur penyeberangan khusus," tuturnya.
Selain itu, Herlina juga menyoroti pentingnya transparansi dari pihak KCIC. "Kalau ada kejadian kayak gini, jangan dianggap sepele. Karena kalau terus dibiarkan, bisa bahaya buat dua-duanya, penumpang dan satwanya," pungkasnya.
(wiw)