Olahraga kerap dianggap sebagai salah satu kebiasaan terbaik untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Namun, siapa sangka, rutinitas yang identik dengan gaya hidup sehat ini justru bisa menjadi candu jika dilakukan secara berlebihan.
Psikolog Klinis Arnold Lukito menyebut, fenomena ini dikenal sebagai exercise addiction atau kecanduan olahraga. Kondisi ini nyata dalam ilmu psikologi, meski kasusnya jauh lebih jarang dibandingkan kecanduan perilaku lain seperti gim, media sosial, atau judi.
"Kondisi ini ditandai dengan dorongan berlebihan untuk terus berolahraga, sampai mengabaikan rasa sakit, cedera, atau kewajiban lain. Dan muncul rasa gelisah atau 'kosong' kalau tidak melakukannya," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Rabu (13/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata Arnold, dari sisi neuropsikologi, olahraga memicu pelepasan hormon endorfin dan dopamin yang menimbulkan rasa senang dan euforia. Sensasi ini menjadi 'hadiah' alami bagi otak, sehingga tubuh terdorong untuk mengulanginya lagi dan lagi.
"Faktor psikologis lain seperti perfeksionisme, tekanan sosial, atau masalah citra tubuh (body image) juga bisa memperkuat pola ini," kata dia.
Arnold menegaskan, dorongan berolahraga akan bermanfaat jika masih dalam batas wajar, bervariasi, dan tidak mengganggu aspek hidup lain. Namun, kondisi ini bisa berubah menjadi masalah jika olahraga dilakukan secara obsesif, mengganggu keseimbangan hidup, meningkatkan risiko cedera, atau membuat tubuh tidak sempat pulih.
"Kuncinya adalah keseimbangan. Olahraga idealnya dilakukan dengan jadwal istirahat, variasi aktivitas, dan memperhatikan sinyal tubuh," jelasnya.
Jika rasa 'kosong' atau gelisah saat tidak berolahraga sudah sampai mengganggu aktivitas dan emosi, Arnold menyarankan untuk melakukan evaluasi, bahkan berkonsultasi dengan profesional.
![]() |
Dia pun merinci beberapa tanda olahraga sudah masuk tahap adiktif yang harus diwaspadai.
Orang yang kecanduan olahraga cenderung mengabaikan sinyal tubuh. Mereka tetap memaksa diri berlatih meski tubuh memerlukan waktu untuk pulih, sehingga risiko cedera menjadi semakin besar.
Kegiatan penting lain mulai terabaikan. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bekerja, berkumpul bersama keluarga, atau beristirahat malah tersita untuk latihan.
Perasaan ini muncul bukan sekadar kecewa, tetapi disertai kegelisahan berlebihan, seolah ada yang kurang atau salah jika melewatkan satu sesi latihan saja.
Mirip seperti toleransi pada kecanduan lain, tubuh merasa 'kurang' dengan porsi latihan sebelumnya. Akibatnya, intensitas dan durasinya terus ditambah tanpa memperhatikan kebutuhan istirahat.
Saat tiba-tiba tidak bisa berolahraga, badan bisa jadi terasa tidak nyaman, mulai dari pegal-pegal, nyeri di beberapa bagian tubuh, hingga perasaan sesak.
Kondisi fisik ini harus diwaspadai, karena bisa muncul akibat stres dari rasa bersalah karena berhenti berolahraga, bukan karena badan kaku karena tidak olahraga.