Tahu Batas Saat Gemas, Anak Kecil Bukan untuk Dicium Sembarangan

CNN Indonesia
Sabtu, 22 Nov 2025 12:00 WIB
Ekspresi sayang pada anak kecil wajar, tapi tanpa izin bisa jadi pelanggaran batas dan membuat anak tak nyaman.
Ilustrasi. Harus tahu batasan antara gemas atau perilaku grooming ke anak-anak. (iStock/FatCamera)
Jakarta, CNN Indonesia --

Bagi banyak orang dewasa, wajah mungil dan tingkah lucu anak kecil kerap memunculkan rasa gemas yang sulit ditahan. Ingin mencubit pipinya, mengelus rambutnya, bahkan mencium pipi atau kepalanya.

Tapi di era sekarang, perilaku yang dulu dianggap wajar kini mulai dipertanyakan: apakah boleh mencium anak orang lain?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Psikolog dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, menjelaskan bahwa secara naluriah, dorongan untuk mencium atau memeluk bayi dan anak kecil adalah ekspresi kasih sayang yang alami.

"Secara biologis, bayi dan anak kecil memicu respons oksitosin, hormon kasih sayang pada orang dewasa. Otak kita membaca wujud kecil dan lembut itu sebagai sinyal untuk merawat," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (11/11)

Namun, menurut Arnold, meski niatnya kerap muncul dari rasa sayang, bukan berarti perilaku tersebut selalu pantas dilakukan. Hal yang membedakan kasih sayang dan perilaku tak pantas adalah konteks sosial, serta consent dan kenyamanan anak.

Jika dilakukan oleh orang dekat yang dipercaya, misalnya keluarga atau sahabat di tempat terbuka dengan gestur lembut, ciuman bisa dimaknai sebagai bentuk kehangatan. Tapi jika dilakukan oleh orang asing, mendadak, atau tanpa izin, tubuh anak maupun orang sekitar bisa memunculkan 'alarm' ketidaknyamanan.

"Dan sikap itu merupakan mekanisme protektif yang sehat," kata Arnold.

Evolusi moral, dari kasih sayang ke kesadaran batas

Dalam masyarakat modern, kesadaran akan boundaries (batas pribadi) semakin tinggi. Menurut Arnold, kini kita mengalami evolusi moral kolektif, pemahaman bahwa cinta tanpa izin bisa terasa invasif.

Rasa risih ketika melihat orang mencium anak kecil yang bukan anaknya pun bukan sekadar reaksi emosional, melainkan bentuk mekanisme sosial protektif.

"Dalam psikologi moral, ini disebut disgust response, reaksi alami terhadap perilaku yang dianggap melanggar norma tubuh," jelasnya.

Reaksi ini membuat masyarakat lebih waspada terhadap kemungkinan grooming atau perilaku predator terselubung.

Arnold juga menyinggung konsep embodied ethics, yakni etika yang mempertimbangkan tubuh dan consent.

"Perilaku penuh kasih pun harus tetap menghormati batas tubuh dan kenyamanan anak," tegasnya.

Arnold menekankan bahwa mencium anak orang lain tidak selalu salah, tetapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Dia memberi beberapa panduan sederhana, yakni:

• Jangan mencium anak yang bukan anak sendiri tanpa izin orang tuanya.

• Amati reaksi anak, jika mundur, tegang, atau diam kaku, segera hentikan.

• Gunakan ekspresi kasih sayang yang aman dan netral, seperti tersenyum, memberi tos, atau mengelus kepala dengan izin.

"Cinta sejati justru ditunjukkan lewat rasa hormat terhadap batas dan kenyamanan anak," kata Arnold.

Lantas, apa yang harus dilakukan saat melihat orang lain mencium anak?

Arnold menyarankan untuk tidak langsung bereaksi emosional. Menurutnya, amati terlebih dahulu konteks dan reaksi anak.

"Jika anak tampak nyaman dan pelaku jelas hubungannya, cukup pantau. Tapi jika anak terlihat kaku atau canggung, itu bisa jadi tanda bahaya," kata dia.

Langkah selanjutnya adalah memastikan rasa aman anak tanpa menciptakan stigma. Bisa dengan mendekat, menyapa anak dengan lembut, atau memberi sinyal sosial halus kepada pelaku, misalnya dengan berkata ringan, 'Eh, jangan dicium dulu ya, takut anaknya belum nyaman'.

"Jika situasi tampak tak aman dan pelaku tetap memaksa, barulah intervensi dilakukan dengan tenang dan melibatkan pihak yang berwenang," kata dia.

(tis/tis)


[Gambas:Video CNN]
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER