Jakarta, CNN Indonesia -- Apa jadinya jika Dayang Sumbi dan anjingnya Tomang dalam legenda Sangkuriang direka ulang ke dalam sinema surealisme? Jawabannya tentu saja, absurd.
Mereka menjelma menjadi Ibu, Manusia Anjing, dan Asa dalam film
Another Trip to the Moon. Sutradara Ismail Basbeth memaparkan, dia meminjam karakter legenda Tangkuban Parahu dalam filmnya.
Film ini membaca ulang cerita legenda, mitos, dan ritual budaya yang tumbuh di Indonesia sehingga mampu memberikan tawaran atau jawaban atas isu kontemporer yang terjadi saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ismail ingin mendobrak budaya patriarki yang lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana banyak tergambar dalam cerita dongeng, mitos, atau legenda.
“Saya memosisikan perempuan sebagai pusat dan penggerak cerita dalam film drama fantasi ini,” katanya saat pemutaran terbatas filmnya di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
"Saya membuat film yang menghormati kebudayaan,” kata Ismail. “Itu bisa juga direka ulang menjadi jawaban atas persoalan yang terjadi saat ini, seperti posisi perempuan, modernitas dan alam.”
Another Trip to the Moon mengisahkan tentang perjalanan surealis nan magis tokoh Asa (Tara Basro), anak seorang dukun yang menentang ibunya sendiri demi kemerdekaan dan kebebasan dirinya.
Asa memilih menyingkir dari hiruk pikuk kehidupan modern dan tinggal di hutan menyatu dengan alam bersama Laras (Ratu Anandita). Keduanya tampil tanpa dialog dalam film berdurasi 80 menit ini.
Menggunakan pendekatan surealisme, genre film ini memang belum populer di kalangan masyarakat umum Indonesia. Boleh jadi, sebagian penonton akan mengerutkan kening saat menontonnya.
"Paham tidak paham pada filmku, ya ini filmku. Penonton harus lebih percaya diri saja dalam menangkap pesan filmnya. Kita percaya kok sama penonton kita, kita punya pengetahuan yang sama," kata Ismail meyakinkan.
Pembuat film pendek yang kerap diputar di berbagai festival film internasional ini sempat khawatir film-filmnya hanya diapresiasi di luar negeri saja.
Film karya anak bangsa ini terpilih mengikuti kompetisi Hivos Tiger Awards 2015 yang merupakan bagian dari International Film Festival Rotterdam, Belanda.
Kali ini, Ismail berharap film ini dapat diputar di negera asalnya usai pemutaran perdana di hadapan publik (world premiere) di Rotterdam, pada hari ini (26/1).
Jika kelak filmnya kurang mendapat sambutan di Indonesia, Ismail mengaku santai. Seperti yang sudah-sudah, penonton filmnya di Indonesia memang hanya sedikit.
"Kita sangat tahu kalau kita sedang merayakan pengetahuan, kecintaan kita pada sinema. Bahwa ini laku atau tidak, itu soal konsekuensi bisnis. Disukai atau tidak, itu soal selera pasar."
Another Trip to the Moon bukan film pertama Indonesia yang tembus ke ajang Hivos Tiger Awards. Sebelumnya film
Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) karya sutradara Edwin dan film
Yang Tidak Dibicarakan, Ketika Membicarakan Cinta (2013) garapan Mouly Surya juga terpilih masuk dalam kompetisi bergengsi ini.
Salah satu sutradara Hollywood yang film panjang pertamanya masuk dalam kompetisi ini adalah Christopher Nolan dengan filmnya
Following (1998). Kini, Nolan dikenal sebagai sutradara berbakat yang membuat film-film berkualitas seperti
Memento (2000),
Batman Trilogy: Batman Begins (2005),
The Dark Knight (2010), dan
The Dark Knight Rises (2012), serta yang terbaru
Interstellar (2014).
Ismail, yang akan memenuhi undangan festival di Belanda bersama Tara Basro, menandaskan, ”Saya berharap bisa membawa pulang sesuatu yang membanggakan untuk Indonesia.”
(vga/vga)