Jakarta, CNN Indonesia -- Jadi keberuntungan tersendiri bagi gitaris Dewa Budjana bisa menggarap album solo ke-delapannya Hasta Karma bersama tiga musisi asal Negeri Paman Sam di New York, pada 2014. Album ini dirilis di sebuah kafe di kawasan Kemang, pada Rabu malam (25/2).
Ketiga musisi, yaitu Joe Locke (vibrafon), juga Ben Williams (upright bass) dan Antonio Sanchez (drum). Williams dan Sanchez adalah personel Pat Metheny Unity Group. Sanchez terlibat penggarapan musik pengiring (scoring) film kaliber Oscar, Birdman.
"Kami rekaman di bawah sepuluh jam. Enggak ada latihan," kata Budjana kepada awak media di Kemang. Gitaris grup band Gigi ini mengaku, hanya memberikan partitur kepada para musisi, lalu mereka memainkan musik secara spontan sesuai interpretasi masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal partitur lagu, Budjana mengaku, lebih sering menggarapnya di ketinggian alias saat berada di kabin pesawat terbang. "Paling tenang di situ," katanya. Saat kebanyakan penumpang lain terlelap, Budjana malah asyik berkarya, mencatat melodi yang mengalun di benaknya.
Diakui, dirinya memang hanya menguasai melodi, dan memiliki kelemahan di ritme. Karena itu, ia sengaja memilih drummer berkarakter seperti Sanchez demi memperkuat seksi ritme. Tiga tahun belakangan, ia menjalin kerja sama dengan drummer papan atas, dari Peter Erskin sampai Sanchez.
Yang menyenangkan, menurut Budjana, pengalaman merekam album bersama musisi asal Pantai Barat, AS, yang memiliki latar belakang berbeda dibanding Pantai Timur atau New Orleans. Begitu juga rasnya, dari Latin, Afro-Amerika, kulit putih, sampai kulit cokelat seperti dirinya yang keturunan Bali.
"Persiapan rekamannya sebulan. Hasilnya di luar ekspetasi. Tapi justru kejutan itu yang menjadi berkah tersendiri buat saya," kata Budjana sembari menegaskan biaya membuat rekaman di New York terhitung lebih murah dibanding di Los Angeles.
Sekalipun merekam album di AS, Budjana mengaku lebih senang dan bangga berpentas keliling Indonesia. Setelah berkeluarga dan memiliki anak, ia tidak memandang perlunya berpindah domisili demi mengejar karier berskala internasional, seperti Anggun Cipta Sasmi.
Pada 1997, Budjana telah merilis album solo perdana Nusa Damai, yang disusul album Gitarku (2000), Samsara (2003), Home (2005), Dawai in Paradise (2011), Joged Khayangan (2013), Surya Namaskar (2014). Tahun ini, Hasta Karma.
Sejak 2002, pria kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, 52 tahun lalu, ini selalu merekam album di AS. Atau terhitung sejak menggarap album Samsara (2003). Kali ini, selama sebulan berada di New York, Budjana mengaku, sekaligus menggarap dua album.
"Yang satu dirilis tahun ini, yang satu lagi enggak tahu kapan beredar," katanya sembari menyebut musiknya, "Jazz dipadu world music." Beberapa media musik di AS, seperti majalah Vintage Guitar, Gitar Player dan Downbeat, memberikan ulasan positif tentang Surya Namaskar.
Hasta Karma diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti delapan (hasta) dan perbuatan atau karya (karma). Merujuk pada album ke-delapan yang diedarkan di pasar musik Tanah Air, dan album solo ke-empat yang dirilis di pasar musik internasional.
Album ini berisi enam komposisi, yaitu Saniscara, Desember, Jayaprana, Ruang Dialisis, Just Kidung, dan Payogan Rain. Ruang Dialisis adalah komposisi lama yang direkam ulang. Komposisi ini terbilang unik karena memuat rekaman vokal nenek Budjana, Jro Ktut Sidemen, yang dibuat pada 1997.
"Budjana adalah musisi yang produktif banget, sangat membanggakan," kata Dwiki Darmawan yang juga hadir di Kemang. "Produksi musik untuk Gigi dan proyek solo Budjana sama sekali berbeda, kayak minyak sama air," sang musisi melontarkan pujian.
Usai melakukan tanya jawab dengan awak media, Budjana tampil bersama band-nya, antara lain membawakan lagu Jayaprana. Tersimak rancak dan indah, jazz bertempo cepat dengan imbuhan nada-nada kidung khas Bali. Benar kata Dwiki, karya Budjana memang sangat membanggakan.
(vga/vga)