Jakarta, CNN Indonesia -- Benjamin (Tom Schilling) tercekam melihat kamar hotel yang diinapinya porak poranda, apalagi ia juga mendapatin ketiga rekannya, Max (Elyas M'Barek), Stephan (Wotan Wilke Möhring) dan Paul (Antoine Monot Jr.) sudah tak bernyawa.
Ketakutan, Benjamin pun menyerahkan diri ke Europol. Di hadapan investigator Hanne Lindberg (Trine Dyrholm), ia mengaku telah melakukan kejahatan siber dan meminta perlindungan polisi karena merasa diburu musuh. Hanne tak begitu saja memercayainya.
Sekalipun disangsikan, Benjamin terus bercerita. Dari sinilah kisah bergulir, mengilas balik ke masa lalu, sejak ia masih kanak-kanak hingga menjadi pemuda
nerdy yang kesepian dan kikuk di depan gadis incaran, Marie (Hannah Herzsprung).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepada Hanne, Benjamin juga menceritakan pertemuannya dengan Max, Stephan dan Paul, yang sama-sama gemar meretas siber. Empat sekawan ini beraksi dengan nama maya Clay. Tak tanggung-tanggung, mereka pun meretas sistem komputer Badan Intelijen.
“Tak ada sistem yang aman,” begitu keyakinan Benjamin yang sejak kanak-kanak memang tergila-gila komputer, internet dan
superhero. Merasa tak mampu menjadi
superhero secara fisik, ia pun menjadi “
superhero” secara maya.
Teka-teki Tak terjawabSeperti poster filmnya yang menggambarkan sosok bertopeng, film
Who am I dipenuhi misteri tentang gerangan Benjamin. Secara jeli, sutradara Baran Bo Odar menggambarkan kesejatian
hacker alias peretas siber yang anonim dan misterius, sekalipun keberadaannya bisa dilacak oleh sesama
hacker.
Percakapan di dunia maya (
chatting) divisualkan oleh Baran tak ubahnya pertemuan orang-orang bertopeng di sebuah kabin. Topeng yang dikenakan Clay mengingatkan pada film
V for Vendetta, dan wajah Benjamin pun mirip Edward Snowden tanpa kacamata.
Snowden tak lain ahli komputer di Amerika Serikat yang pernah membocorkan dokumen rahasia National Security Agency kepada pers. Gara-gara aksi nekatnya ini, ia dikenakan sanksi dan dideportasi ke luar negeri.
Bila dibanding film bertema sama seperti
Blackhat, penggarapan
Who am I tersimak lebih mumpuni. Cara kerja, taktik dan muslihat si
hacker disampaikan Baran dengan lebih jenius. Ia juga cermat menyoroti detail, sekalipun hanya suvenir atau gula dadu.
Dikisahkan, si peretas siber selalu mengambil benda mungil milik korbannya untuk dijadikan tanda mata. Dan keahlian Benjamin bermain sulap dengan gula dadu menggambarkan kejeniusannya memainkan pikiran orang, tak terkecuali Hanne.
Kriminal vs. PositifHadirnya
Who am I di bioskop Blitzmegaplex dan Cinemax memberi alternatif tontonan yang menarik. Tak hanya menarik dari segi cerita (dengan
editing rumit), juga segi bahasa. Film produksi Jerman ini menggunakan
subtitle bahasa Inggris dan Indonesia.
Who am I membukakan mata kita betapa kecanggihan tetap memilih celah menyesatkan yang mengarah kriminal. Aksi peretasan tak hanya menghantui sistem komputer masif milik lembaga negara, bahkan juga akun media sosial milik awam.
Terlepas dari aksinya yang kriminal, si jenius Benjamin tetap memiliki sisi positif. Ia digambarkan sebagai pemuda yang selalu menempa diri agar lebih percaya diri, pantang menyerah, dan tetap menyayangi keluarga (neneknya).
Tom Schilling berhasil memerankan karakter Benjamin yang rumit dan tak terduga. Di pengujung film, kerumitan karakternya nyaris terungkap. Namun sekali lagi, Baran membelokkan cerita begitu rupa hingga menyisakan keganjilan.
Satu lagi hal ganjil: film ini didistribusikan oleh Sony Pictures yang beberapa waktu lalu menjadi korban peretasan siber. Bisa jadi inilah cara Sony membeberkan pola kerja si
hacker atau membenarkan kata-kata Benjamin, “tak ada sistem yang aman.”
[Gambas:Youtube] (vga/vga)