Video Karya Anak Desa yang Tak Tahu Inul Daratista

Windratie | CNN Indonesia
Kamis, 26 Mar 2015 21:29 WIB
Dari semula tak kenal pesohor macam Inul Daratista, kini, anak-anak di sebuah desa di Flores, NTT percaya diri dan mampu membuat video.
Masyarakat dari anak kecil sampai orang tua di desa Lengko Ajang, Kelurahan Golo Wangkung, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, antusias menantikan pemutaran video partisipatif dari Komunitas Kreatif, program pemberdayaan masyarakat dari Yayasan Kelola. (CNNIndonesia/Windratie)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Briptu Norman kenal? Inul Daratista? Ayu Tingting?” Demikian pertanyaan yang suatu kali dilontarkan Ishak Iskandar kepada anak-anak di Desa Lengko Ajang, Kelurahan Golo Wangkung Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pertanyaan itu dilontarkan Ishak saat mengemban tugasnya sebagai  fasilitator dari progam Komunitas Kreatif Yayasan Kelola. “Inul saja mereka enggak kenal. Diam semua. Ini maksudnya penyadaran media,” ia menambahkan.

Pria 33 tahun asal Makassar, Sulawesi Selatan, sudah tiga bulan menetap di Golo Wangkung. Sekalipun kuliah di jurusan administrasi di sebuah perguruan tinggi di Makassar, ia lebih memilih menekuni pembuatan rekaman video.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu tugas Ishak atau biasa disapa Pata, yaitu mengajarkan cara membuat rekaman video partisipatif. Tentu saja bukan perkara mudah mengingat Golo Wangkung belum tersentuh listrik. Toh begitu anak-anak lokal percaya diri dan mampu membuat video.

Tua Muda Bikin Rekaman Video
 
Tak sulit bagi Pata diterima warga lokal. Saat berbicara dalam Bahasa Indonesia—dengan logat Makasar sangat kental—ia sangat ekspresif, tak ubahnya sedang mendongeng. Wajar bila sosoknya  mengena di hati warga, terutama anak-anak.   

“Tapi saat pertemuan pertama kali garing,” katanya. “Ini serius, karena mereka enggak paham.” Bahkan beberapa orang warga tidak setuju dan mengganggap pelatihan seperti itu mengganggu pelajaran sekolah. Namun Pata tak patah arang.

Ia segera menemui frater atau kepala sekolah untuk menjelaskan kegiatannya. Singkat cerita, 22 anak sepakat untuk diajarkan karena peralatan, waktu, dan tenaga pendidik yang terbatas. Tidak cuma anak, orang tua juga diajarkan pelatihan video ini.

“Harus ada orang tua, tokoh-tokoh masyarakat yang melindungi mereka. Jadi saya ajarkan orang tua juga.” Selain itu, Pata juga meminta izin pemerintah daerah setempat untuk perkara legitimasi atau legal agar di kemudian hari tak berujung konflik.

“Saya selalu bilang, video itu membantu, video sebagai alat,” ucapnya. Misal, di film Jalan ke Mering yang merekam tanggapan warga. Warga Mering yang semula hanya menonton, akhirnya seperti tersadar ‘oooh.’ “Akhirnya, aspirasi saya didengar.”

Waktu tiga bulan relatif singkat untuk mengajari anak-anak membuat rekaman video. Untuk itu, Pata memilih satu orang dan habis-habisan mengajarinya sebagai Kader Pemberdayaan Kreatif (KPK), yaitu Syamsul Arifin (26) alias Ari, warga Golo Wengkang.

Sebagai KPK, Ari bertugas membantu fasilitator menyebarkan pengetahuan kepada warga. Namun kondisinya tak mudah. “Hanya ada satu genset. Listrik hanya dari jam enam sampai sepuluh malam. Perlu ada pemetaan masalah untuk menentukan prioritas,” tukas Pata.  

Rekaman Video Tanpa Macam-macam

Pengalaman mengajarkan cara pembuatan video kepada warga Desa Golo Wangkung, Pata menyatakan, “Tak perlu lah macam-macam membedakan film dokumenter atau fiksi. Yang terpenting, mereka paham dasarnya dulu.”

Ketika Pata mengajarkan cara menggunakan fitur kamera: zoom in, rec, end, memperbesar, memperkecil, rekam, lalu warga setempat bertanya padanya, “Cuma itu, Pak?” Pata pun menanggapi sembari terbahak, “ Cuma itu! Sukses, ya! Hahaha.”

Murid-murid belajar merekam berbagai hal, melakukan simulasi sendiri. Dari situ, banyak masalah muncul, antara lain gambar terlalu goyang. Lalu, diajarkan menggunakan tripod supaya gambar stabil, plus cara sederhana mengedit video.

Kegiatan merekam dengan kamera video pun membuat warga desa peserta didik Pata menjadi lebih percaya diri, dan lama kelamaan menyukai kegiatan ini. Pata pun menyilakan warga meminjam kamera milik pribadinya.

“Siapa yang mau pegang kamera saya?” Pata menawarkan, meskipun mengaku deg-degan juga, khawatir kamera rusak. Untuk itu, dibuat aturan: kamera jangan basah, jangan jatuh, jangan hilang. Warga desa menaati aturan dan kesepakatan bersama, “Oke pak, bisa.”

Selain mengajar video, Pata juga mengubah kebiasaan orang tua setempat yang sangat keras dalam mendidik anak. “Anak tidak boleh salah. Kalau salah, langsung dihajar, ditegur, dan segala macam. Salah itu! Setiap ingin melangkah harus bertanya dulu.”

Tiga bulan berlalu, kini, tugas Pata di Golo Wangkung berakhir. Ia berkemas, siap kembali ke kampung halamannya di Gowa, Makassar. Menyisakan satu tantangan bagi program Komunitas Kreatif: apa yang bisa dilakukan tanpa Pata?

Yang jelas, pria yang juga pernah mengajar Suku Bajo di Sulawesi ini akan kembali ke Golo Wangkung. Bukan sekadar melanjutkan tugasnya mengajari cara pembuatan rekaman video, juga membayar janji: membuat rekaman video!

“Saya dikomplain sama toko-tokoh masyarakat di kampung. Kamu itu keliling ngajarin anak-anak di kampung, kampung kamu sendiri belum,” ucap Pata diiringi derai tawa. “Nanti saya balik. Itu sebuah janji, kan?”



(win/vga)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER