Jakarta, CNN Indonesia -- Beragamnya jenis kesenian seringkali dipandang sebagai bentuk yang terpisah-pisah, tanpa memiliki keterkaitan. Pandangan ini dirasa para alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) perlu diubah, demi menyelamatkan seni di Indonesia.
Contohnya Ubiet, penyanyi band Krakatau. Ubiet memang tidak menamatkan gelar sarjana musiknya di IKJ, lantraran di tengah masa studinya, ia mendapatkan beasiswa ke Amerika Serikat hingga studi master.
Namun pengalaman Ubiet di IKJ memberikan pandangan luas akan makna seni yang saling membutuhkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama saya belajar di IKJ, meski tidak sampai tamat, saya bukan hanya belajar musik, tetapi juga jenis cabang yang lain seperti film," kata Ubiet ketika ditemui
CNN Indonesia saat persiapan ulang tahun IKJ ke-45 di Taman Ismail Marzuki, pada Senin (1/6).
Pandangan tersebut juga didukung oleh aktor senior Slamet Rahardjo. Slamet yang juga merupakan ketua Yayasan Institut Kesenian Jakarta, menceritakan pengalamannya dalam memandang kesenian.
Slamet bukanlah lulusan resmi dari IKJ. Kala itu, ia bergabung dengan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang merupakan cikal bakal berdirinya IKJ.
Semasa muda, ia memandang seni hanyalah sebatas seni lukis yang memang menjadi impian dan hasratnya untuk berseni. Hingga akhirnya ia melihat penampilan Teguh Karya dalam sebuah pementasan teater.
Dirinya yang terkagum-kagum dengan salah satu pendiri IKJ tersebut lantas belajar lebih dalam mengenai arti seni, termasuk teater.
"Saya belajar, bahwa seni itu tidak hanya semata menciptakan gambar, tapi justru menciptakan imaji yang bebas," kata Slamet.
Imaji tersebut benar-benar dimaknai secara dalam oleh Slamet. Selama dirinya tergabung dalam LPKJ, ia merasa pendidikan yang ia terima bukan hanya sekadar teori namun berdasarkan pengalaman yang dialami oleh para seniornya.
Pendekatan ala sanggar yang bebas bak taman bermain itulah yang dirasakan Slamet sebagai bentuk efektif dalam menjalani pendidikan kesenian.
Pola konvensional yang diterapkan oleh pemerintah, dirasa tak cocok untuk pendidikan seni dan hanya akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang terkotak-kotakan.
"Sekolah sudah selayaknya seperti taman bermain, itulah mengapa Ki Hajar Dewantoro mendirikan Taman Siswa, bukan Sekolah Siswa," kata Slamet kepada
CNN Indonesia. Para alumni IKJ dalam persiapan ulang tahun IKJ ke-45 di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo) |
"Sudah sekian lama bangsa kita ini dididik untuk menjadi bangsa yang lemah dan konsumtif, saya ingin mengubah itu," lanjutnya.
Pola kurikulum pendidikan tinggi dari pemerintah yang mengharuskan bobot teori adalah 60 persen dari keseluruhan materi pendidikan, juga dirasakan Rektor IKJ Wagiono Sunarto selama menjabat kepala sekolah seni unggulan Indonesia tersebut.
Ia mengalami betapa sulitnya untuk memadukan kurikulum pendidikan Indonesia yang berbasis sains dan teknologi dengan seni murni yang diperdalam oleh IKJ. Bahkan dirinya tidak menemukan makna seni dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Kami memang kesulitan dengan beban kurikulum dari pemerintah saat ini. Bahkan rasanya pendidikan seni tidak dianggap sama seperti pendidikan riset dan teknologi dalam pendidikan tinggi," kata Wagiono.
"Dalam seni, misal ada 20 siswa, ya semuanya harus diperhatikan dan dididik dengan pendekatan individu," lanjutnya.
Beban tersebut membuat pihak IKJ memutuskan membuat sebuah kurikulum mandiri berdasarkan perkembangan nalar dan imajinasi berkesenian masing-masing anak.
Obsesi inilah yang menggerakkan Slamet Rahardjo selaku ketua yayasan untuk kembali membangun fasilitas pendidikan seperti yang dianut Ki Hajar Dewantara.
"Kurikulum tersebut salah satunya dibuat oleh saya. Kita akan mulai dari lingkup kecil dahulu, dari IKJ," kata Slamet.
Rencananya, Slamet pun akan mencoba menemui pihak kementerian yang mengurusi bidang pendidikan untuk berdiskusi mengenai kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pendidikan seni.
Semua itu demi mewujudkan Indonesia yang kreatif, yang diartikan Slamet sebagai bangsa yang produktif, bukan konsumtif.
[Gambas:Youtube] (ard/ard)