Jakarta, CNN Indonesia -- Nama NH Dini mencuat kembali. Novelis Indonesia yang eksis berkarya sejak 1970-an itu dikaitkan dengan putranya, Pierre-Louis Padang Coffin. Kini, sang putra tengah bersinar lantaran baru merilis film
Minions, yang sudah bisa disaksikan mulai pekan ini.
Pierre merupakan putra NH Dini hasil perkawinannya dengan diplomat Perancis Yves Coffin. Ia punya satu anak lagi, Marie-Claire Lintang Coffin. Lintang menetap di Kanada, sementara Pierre berkarier di Perancis.
Darah Indonesia yang mengalir di tubuh Pierre berkat wanita kelahiran Semarang, 29 Februari 1936 itu dibuktikan lewat kesukaannya pada nasi goreng. Pierre juga memasukkan bahasa Indonesia ke bahasa Minion yang ia ciptakan, seperti "terima kasih" atau "masalah."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Pierre mendapat pujian seantero Hollywood bahkan dunia, NH Dini kini tinggal di sebuah panti wreda di Banyumanik, Jawa Tengah. Namun, pemilik nama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu tinggal di sana atas kemauan sendiri.
Berdasarkan wawancara CNN Indonesia dengan keluarga NH Dini, sang novelis tidak sama dengan orang tua lain yang tinggal di panti. Kalau lainnya dititipkan, ia menitipkan diri sendiri. Alasannya, tak ingin merepotkan orang lain. Bahkan soal keuangan, NH Dini masih sangat mandiri.
Ia masih membimbing skripsi, mengisi acara seminar, bahkan bolak-balik ke Jakarta jika ada undangan seni di Taman Ismail Marzuki. Usia senja tak menghalanginya naik pesawat dan bepergian sendiri. Jika butuh bantuan, ia sendiri yang menghubungi maskapai untuk meminta kursi roda.
NH Dini juga masih menulis. Namun, keluarga tak tahu detail apa yang sedang digarapnya. Yang jelas pada 2003 ia masih menelurkan buku
Dari Parangakik ke Kampuchea yang masih diminati.
Ia masih seperti dahulu, novelis laris. Beberapa bukunya yang terkenal di antaranya
Pada Sebuah Kapal, Hati yang Damai, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Sekayu, juga
Langit dan Bumi Sahabat Kami. Novelnya masih banyak lagi. Belum lagi kumpulan cerpen dan noveletnya.
Beberapa bukunya diterbitkan kembali tahun-tahun belakangan ini oleh Gramedia.
Tak heran Putu Wijaya, sastrawan Indonesia mengomentari karya NH Dini dengan sebutan "kebawelan yang panjang." NH Dini punya ciri khas di novel-novelnya. Tokoh utamanya hampir selalu perempuan. Dan ia mengisahkan lelaki dengan emosi yang terasa seperti kemarahan.
Karya-karyanya juga tak tabu bicara perselingkuhan serta seks. Menurut NH Dini, itu wajar. Ia hanya mengungkapkan persoalan dan perjalanan hidup, yang bagi pembaca terasa seperti memperbincangan dirinya sendiri.
Ia sering disebut sastrawan feminis. Budi Darma menyebutnya "terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki." Entah apa penyebabnya. Mungkin berkaitan dengan latar belakangnya sebagai remaja tanpa ayah, sementara ibunya tidak berpenghasilan tetap.
Tapi kondisi itu mengasah bakat sastranya. NH Dini jadi banyak melamun dan menuangkan kegelisahannya di tulisan. Sejak kelas tiga SD ia suka menulis. Saat SMP, NH Dini sudah mengisi majalah dinding sekolah dan mengirimkan sajak ke Radio Republik Indonesia.
Saat 1956, NH Dini sudah bekerja di Garuda Indonesia di Bandara Kemayoran, ia mulai menerbitkan buku kumpulan cerita pendek. Judulnya
Dua Dunia. Sejak itu, ia semakin produktif menulis. Ia juga dianugerahi SEA Write Award di bidang sastra dari Thailand.
Setelah berpisah dari suaminya, Yves Coffin, NH Dini pulang ke Indonesia. Perceraian tidak membuatnya jatuh. NH Dini masih mengabdikan diri pada dunia tulis-menulis. Ia bahkan punya pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang. Sekarang, keluarga yang menempati rumah itu.
[Gambas:Youtube]Dari Indonesia, NH Dini masih menjalin komunikasi akrab dengan anak-anaknya. Mereka saling berkirim surat elektronik. NH Dini juga masih mengunjungi mereka jika memungkinkan. Sesekali ia ke Kanada, sesekali ke Perancis. Pierre bahkan pernah datang ke Indonesia.
NH Dini bukan tak tahu anaknya telah merengkuh sukses. Saat Pierre menelurkan
Despicable Me dan
Despicable Me 2, ia mengajak keluarganya menonton hasil karya sang putra. Namun untuk
Minions yang memang baru keluar di bioskop pekan ini, ia belum menonton.
Itu berkebalikan dengan Pierre yang dalam sebuah wawancara dengan VOA Indonesia mengaku dahulu tidak terlalu mengenal karya ibunya.
Sebab novel-novel NH Dini tidak diterjemahkan ke bahasa Perancis. Ia hanya tahu ibunya penulis kenamaan Indonesia, dan malu karena tak membaca karyanya. Namun Pierre ingin membaca. Jika ada bahasa yang tak ia mengerti, katanya, ia bertanya ke teman-teman ibunya.
Yang jelas, itu tak menghalangi ikatan darah dan komunikasi intens di antara mereka.
(rsa/rsa)