Terracota Biennale, Selamatkan Kepunahan Seni Indonesia

Ardita Mustafa | CNN Indonesia
Selasa, 07 Jul 2015 08:48 WIB
"Jika tidak segera dibuat, karya seni tanah liat Indonesia akan segera punah," kata Noor Ibrahim, salah satu penggagas Terracota Biennale 2015.
Noor Ibrahim dan Djoko Pekik (tengah) bersama para seniman dalam pameran Terracota Biennale 2015. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)
Yogyakarta, CNN Indonesia -- Jauh dari keriaan Jogja Art Weeks dan Art Jog, di kawasan Kasongan, Bantul, Yogyakarta, hadir pula pameran karya seni yang tidak kalah menarik bertajuk Terracota Biennale.

Memiliki tema The Potter and The Knight, pameran karya seni tanah liat ini baru pertama kali diadakan di Indonesia dan dunia. Sudah berlangsung sejak 7 Juni 2015, pameran ini akan berakhir pada 7 Juli 2015.

Saat mendatangi lokasi pameran, tidak tampak gedung pameran yang megah. Pameran Terracota Biennale hanya diadakan secara "sederhana" di halaman rumah seniman legendaris Djoko Pekik yang rindang dan sejuk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Djoko, yang lukisannya pernah terjual hingga Rp6 miliar, memang seniman yang cukup nyentrik. Lahan rumahnya yang seluas kurang lebih hektare dibiarkan asri tanpa memenggal satu pun pepohonan. Tanah liat berbagai bentuk hasil karya 70 seniman Terracota Biennale dari dalam dan luar negeri pun semakin menyatu dengan alam.

Dijumpai oleh CNN Indonesia, pada pekan kemarin, salah satu penggagas Terracota Biennale, Noor Ibrahim, mengatakan konsep pameran seperti itu memang sudah direncanakan sejak awal.

"Kami ingin membuat pameran ini menyatu dengan alam. Tanah liat kan dari alam. Jadi rasanya kurang pas kalau seni tanah liat dipajang di gedung pameran megah," kata Noor.

Beberapa seniman yang menyumbang karya untuk Terracota Biennale 2015 adalah Djoko Pekik, Nasirun, Teguh Ostenrik, Kondang Sugito dan Diki Chandra.

Bagi Noor, seni tanah liat adalah bentuk kesenian yang paling dasar yang banyak makna.

"Banyak seniman yang sudah melanglang buana dengan teknik kontemporer, realis dan lain sebagainya. Tapi hanya sebagian kecil yang mau kembali belajar membuat karya dari tanah liat. Padahal tanah liat adalah kesenian khas Indonesia," kata Noor.

"Tanah liat dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia. Banyak karya tanah liat kuno milik Indonesia yang malah dipajang di museum luar negeri. Jika Terracota Biennale tidak segera dibuat, karya seni tanah liat Indonesia akan segera punah," lanjut Noor.
Kapitalisme versi tanah liat. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)


Karya Diki Chandra. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)


Tanah liat berbentuk tangan dan batu cincin. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)

Karya Djoko Pekik. (CNNIndonesia/Ardita Mustafa)
Terbiasa melukis, Djoko, yang juga sempat ditemui mengaku sedikit kesulitan saat membuat karya tanah liatnya. Dalam mengerjakan karyanya yang berbentuk babi dan anjing, Djoko sampai menghabiskan waktu hingga satu minggu.

Sama seperti seniman yang lain, karya tanah liat yang sudah dibentuk Djoko lalu diproses oleh orang-orang Desa Kasongan, pusat gerabah di Yogyakarta.

"Kalau melukis harus pakai tenaga, kalau membuat karya tanah liat harus lemah lembut. Jelas, lebih sulit membuat karya seni ini," kata pria yang memiliki 12 anjing, 17 cucu, delapan anak dan satu istri ini.

Sejumlah karya seni yang dipamerkan di Terracota Biennale sudah laku terjual.

"Tanah liat adalah media berkesenian yang paling multi-ekspresi. Hasilnya sangat tergantung proses berpikir sang senimannya," ujar Noor.

Noor dan Djoko sama-sama berharap, Terracota Biennale akan berlanjut di tahun-tahun berikutnya.

"Pameran baru permulaan, tunggu saja tanggal mainnya," kata Djoko menutup pembicaraan. (ard/ard)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER