London, CNN Indonesia -- Beberapa wanita harus hidup di balik sel penjara di Kigali karena telah membunuh tetangganya dari Suku Tutsi dalam peristiwa genosida yang terjadi di Rwanda pada 1994.
"Mereka dapat dengan mudah ditangkap dan dibunuh," kata salah satu wanita yang membunuh Suku Tutsi dalam peristiwa berdarah yang terjadi selama 100 hari itu di Rwanda.
"Saya tidak menjelaskan secara rinci, yang pasti kami membunuh seperti binatang," lanjut sang wanita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedelapan wanita yang kini dipenjara atas tuduhan keterlibatan dalam genosida di Rwanda buka suara mengenai peristiwa yang dialami mereka dalam sebuah film dokumenter berjudul
Shades of True.Dalam genosida Rwanda, Suku Hutu berkonflik dengan Suku Tutsi. Sepanjang 1994, Suku Hutu dikatakan sudah membunuh 800.000 anggota Suku Tutsi. Kebanyakan dari korban dibunuh dengan sabetan golok.
"Kami harus membunuh musuh kami," kata seorang wanita yang pernah menguliti mayat wanita Tutsi demi mencari sumber kecantikannya.
Wanita Tutsi, yang bertubuh tinggi dan berkulit halus, dituduh menggoda suami para wanita Hutu, oleh karena itu para wanita membunuh karena didasari rasa cemburu.
"Banyak orang mengira kalau hanya pria yang bertanggung jawab atas genosida ini," kata Immaculee, yang mengaku membunuh anaknya yang berdarah Hutu-Tutsi sebagai obyek latihan membunuh.
Ia juga pernah membunuh seorang wanita tua Tutsi setelah menyeretnya dari kasur rumah sakit.
Tahanan lain mengaku bersalah karena menghasut Suku Hutu untuk membunuh melalui siaran radionya.
"Salah satu kesalahan saya adalah radio. Melalui radio, saya sering menjelek-jelekan Suku Tutsi," kata sang tahanan.
The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) terbentuk setelah peristiwa genosida berakhir dan bertujuan untuk menyidiki kejadian tersebut.
Pemerintah Rwanda saat ini telah melakukan berbagai tindakan hukum, mulai dari yang hukum negara hingga huku tradisional yang bernama pengadilan gacaca.
Sebanyak 2.000 wanita dijatuhi hukuman sebagai pelaku genosida dan kini ditahan di penjara Rwanda.
"Anak-anak kami tidak akan pernah memaafkan kami," kata salah satu dari mereka.
(ard/ard)