Jakarta, CNN Indonesia -- Areal parkir Pura Uluwatu nyaris penuh meski jarum jam masih menunjukkan pukul 17.00 WITA, pada awal pekan ini. Rata-rata turis mancanegara, padahal itu sudah bukan lagi masa libur musim panas.
Mereka bukan hanya berburu indahnya langit senja yang semakin cantik jika dipadu bentuk bangunan sembahyang tradisional masyarakat setempat. Para turis itu juga ingin merasakan pengalaman budaya lokal.
Pukul 18.00 WITA, waktunya pementasan Tari Kecak di panggung utama pura. Antrean pembelian tiket dan peminjaman sarung mengular sejak sekitar pukul 15.00 WITA. Turis harus membayar biaya masuk Rp20 ribu dan tiket menonton Rp100 ribu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tari Kecak digelar di Pura Uluwatu setiap hari, di jam yang sama.
Saat saya memasuki arena satu jam sebelum acara, tempat duduk yang dibentuk tribun nyaris penuh. Rasanya lebih seperti menonton Grand Prix atau Formula One ketimbang tarian tradisional.
Di mana-mana tampak turis asing berwajah antusias. Saya sendiri bersama lima bule, tiga di antaranya baru pertama berlibur ke Indonesia. Pukul enam pas, akhirnya pembawa acara memberi ucapan pembuka. Api sudah disiapkan di tengah arena.
Meski begitu, penonton masih terus berdatangan. Panitia masih mempersilakan mereka masuk walaupun tribun tak mampu lagi memuat orang untuk duduk. Sebagai gantinya, mereka menambah beberapa kursi plastik di tepi arena. Saat kehabisan kursi, mereka membiarkan penonton lesehan.
Sementara di hadapan penonton, sebagai latar tarian, matahari semakin tenggelam. Menyisakan langit senja berwarna oranye, merah muda, lalu kuning dan gelap. Itu membuat pertunjukan terasa semakin istimewa dan wajib diabadikan.
Keriuhan penonton yang berebut mencari tempat duduk senyap saat puluhan laki-laki bertelanjang dada memasuki arena. Mereka hanya mengenakan sarung kotak-kotak dan menyelipkan bunga sepatu merah di salah satu telinga. Puluhan pria itu tak diam. Mereka berdecak-decak.
"Kecak kecak kecak kecak," ucap mereka seragam. Lantunan itu tak henti-henti mereka ucapkan, kadang bersahut-sahutan. Mereka lalu membentuk lingkaran kecil di sekitar api, dan melakukan gerakan khas: melambai-lambaikan tangan di udara.
Setelah sekitar lima menit, dua penari dengan busana dan dandanan lengkap menemani mereka. Rama dan Sinta, yang menjadi inti cerita dalam tarian sore itu. Mereka berputar-putar dan bergantian keluar masuk arena dengan penari lain.
Namun puluhan pria penari Kecak, tinggal sampai pementasan usai.
Seperti cerita Rama dan Sinta yang dikenal, tarian itu juga menampilkan penculikan oleh Rahwana dan penyelamatan kera putih baik hati dan cerdik, Hanoman. Ia benar-benar menjadi bintang dalam tarian itu.
Setiap kali Hanoman muncul, penonton tertawa-tawa atau bertepuk tangan. Ia pun bisa dibilang ramah. Kemunculannya sebelum bertemu Sinta di penjara dan memberinya cincin Rama, sangat lincah. Ia melompat-lompat, hinggap dari satu sisi penonton ke sisi penonton lain.
Ia berpose saat difoto, bahkan ketika diajak
selfie. Meski tampangnya menyeramkan, sang Hanoman berhasil menyenangkan penonton.
Tarian itu tampaknya memang didesain bukan sekadar pementasan tradisional biasa. Itu juga sebuah hiburan. Bahkan orang kepercayaan Rahwana sang monster jahat pun, berhasil memancing tawa penonton.
"
Hello Ladies and Gentlemen, do you understand me?
My English is not good, but you have to understand," katanya dalam bahasa Inggris yang kental dengan logat daerah. Ia kemudian melanjutkan basa-basi dan sedikit menerangkan cerita tariannya.
Dua "monster" lain yang menemaninya kemudian berdansa, sembarj mengajak dua penonton perempuan masuk ke arena. Sebelum memulangkan dua penonton itu kembali ke tempat duduknya, mereka menyempakan
selfie bersama.
Tensi menghibur terasa bahkan sampai acara selesai. Setelah puncak tari, yakni pembakaran hidup-hidup sang Hanoman. Kobaran api yang menyala meriah meski tak liar, menutup tarian berdurasi satu jam itu.
Kemudian Hanoman, Rahwana, Rama, Sinta, dan para penari lain termasuk para pria tanpa busana itu terbuka untuk diajak berfoto bersama. Lagi-lagi, antrean mengular. Setelah mengantre sekitar 10 menit di belakang turis Jepang, Eropa, Afrika, sampai domestik, saya dapat giliran.
Hanoman berpose dengan gerakan lincah dan lucunya. Para penari Kecak berpose masih sambil menyanyikan lagu khas mereka. "Terima kasih, pertunjukan yang bagus," demikian komentar teman-teman asing saya pada mereka.
Tarian yang terbagi dalam empat babak itu memang memuaskan. Meski tak semua turis paham cerita tariannya, mereka menikmati gerakan dan hiburan yang disajikan. Apalagi tarian itu sangat tradisional.
Namun sebenarnya Tari Kecak tak setradisional yang mereka pikir. Tari itu diciptakan seorang Bali bernama Wayan Limbak bersama pelukis Jerman, Walter Spies. Limbak yang kemudian memopulerkannya saat keliling Eropa bersama grupnya.
Tari yang tak diiringi musik lain selain suara "kecak" yang terlontar dari mulut para penari itu dibuat berdasarkan tradisi Sanghyang atau persembahyangan dan cerita Ramayana. Karena itu sebelum dan sesudah tari, seorang dengan air suci datang ke arena untuk "memberkati" para penari. Pun demikian saat Hanoman akan dibakar hidup-hidup.
Air suci itu, bagi Hanoman sekaligus kekuatan agar ia selamat meski dibakar. Dan memang keberhasilannya memadamkan apilah yang membuat penonton bertepuk tangan dan tertawa puas sore itu.
(rsa/vga)