Ratchadapisek, CNN Indonesia -- Bagai keluarga besar, negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) memang memiliki karakter yang berupa-rupa. Meski demikian jika sudah bertemu muka, hubungan antar sesama anggotanya sangat harmonis.
Hal ini terbukti saat diadakannya acara kolaborasi kebudayaan negara-negara ASEAN yang bertajuk C ASEAN di Ratchadapisek, Thailand, pada Minggu (13/12).
Di sana, sepuluh pemuda dan pemudi dari Thailand, Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam dan Indonesia, tampil di atas panggung dengan alat musik tradisional masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak yang menduga acara C ASEAN ialah bagian dari acara ASEAN. Meski tetap didukung oleh ASEAN, acara ini sesungguhnya ialah kontribusi sosial dari seorang pengusaha papan atas asal Negeri Gajah Putih bernama Thapana Sirivadhanabhakdi.
Tidak banyak yang dikatakan Thapana saat ditemui oleh CNN Indonesia pada malam acara di Gedung Cyber World Tower. Pengusaha, yang salah satunya pemilik merek bir Chang, ini hanya mengatakan impiannya sudah terwujud dengan penyelenggaraan acara C ASEAN.
"Sebagai warga Thailand dan penduduk ASEAN, acara ini ialah salah satu impian saya agar kebudayaan tradisional bisa lebih diapresiasi oleh masyarakat kita dan dunia," kata Thapana.
Impian Thapana terbukti sukses. Acara kolaborasi musik di C ASEAN berlangsung meriah dan gegap gempita, meski latihan rutin baru dilakukan pada awal Desember.
Sebanyak sepuluh lagu dibawakan dalam tiga babak. Babak pertama, lagu dari Kamboja (
Sarika Keo), Myanmar (
Nan Bone Thiha Bwe) dan Singapura (
Dayung Sampan) dialunkan.
Babak ke-dua, lagu dari Vietnam (
Xe Chi Luon Kim), Laos (
Seang Khan Lao) dan Brunei Darusalam (
Hola Hela) dibawakan.
Di babak ke-tiga, lagu dari Filipina (
Salidumay), Indonesia (
Tak Tong Tong), Thailand (
Loy Krathong) dan Malaysia (P
andang-pandang Jeling-jeling) dilantunkan.
Sepuluh pemuda pemudi yang tampil sebelumnya digembleng oleh para mentor mereka yang berlatar belakang musik dan hiburan. Contohnya delegasi Indonesia, Agung Hero Hernanda—biasa dipanggil Eru, yang dimentori oleh komposer dan produser festival, Franki Raden.
Franki ialah peraih Piala Citra pada 1978 dan 1986 masing-masing untuk film
November 1828 dan
Nagabonar. Ia juga pencetus Indonesia National Orchestra. Selain itu, pria ini sempat mengajar di Toronto dan Singapura.
Dari sepuluh mentor, hanya dua yang berkesempatan mengaransemen beberapa lagu. Mereka yang jenius ialah Laverne David De La Pena (Filipina) dan M. Yazid Zakaria (Malaysia).
Laverne, profesor dan kepala jurusan musik di Universitas Filipina, mengaransemen kembali lagu
Salidumay dan membuat seisi ruangan pertunjukan C ASEAN kompak bernyanyi.
Sedangkan Yazid, konduktor dan direktur musik Malaysian Traditional Orchestra di Istana Budaya Malaysia, mengaransemen kembali dengan gagah lagu
Tak Tong Tong, Loy Krathong dan
Pandang-pandang Jeling-jeling.Khusus Yazid, karyanya patut diapresiasi lebih karena banyak penonton yang merasa aransemennya membuat panggung seperti adegan bermain musik dalam film
Whiplash.
Ero dan Sukirman Sugadto, musisi asal Brunei, terdengar bersahut-sahutan menepuk gendang dan rebana. Suasana pun langsung riuh dengan teriakan kagum penonton.
Dari gendang Sunda hingga kulintang Filipina, semua "dibunyikan" oleh Yazid. Bersahut-sahutan dan harmonis.
Beruntung, CNN Indonesia berkesempatan bertemu komposer senior ini setelah acara C ASEAN usai digelar.
Yazid mengaku aransemen tersebut sudah digubahnya sejak Oktober, dengan banyak masukan dari mentor lainnya.
"Mengaransemen musik kolaborasi jauh lebih sulit. Karena saya harus menyatukan banyak rasa. Brunei, Malaysia, Singapura dan Indonesia mungkin masih
nyambung karena sama-sama serumpun. Tapi beda jika dengan Thailand dan yang lainnya," kata Yazid sambil tersenyum.
"Tapi apresiasi yang tinggi rasanya lebih pantas ditujukan kepada para musisinya. Mereka ini anak muda yang masih mau memainkan alat musik tradisional dan tampil dengan persiapan yang sangat singkat. Saya sangat salut," lanjut Yazid.
Menyatukan ASEAN dalam hal budaya nyatanya tidak mudah. Tapi jika sudah bersatu, semuanya terdengar sangat indah. M. Yazid Zakaria, musisi |
Bagi Yazid, mengaransemen ialah hal yang mudah, tapi tidak dengan perdebatan dengan para mentor lainnya.
"Lebih lama berdebat soal alat musik apa yang akan ditampilkan di atas panggung. Ini karena terlalu kayanya alat musik tradisional ASEAN. Hahaha," ujar Yazid.
"Menyatukan ASEAN dalam hal budaya nyatanya tidak mudah. Tapi jika sudah bersatu, semuanya terdengar sangat indah," lanjut Yazid.
Setelah C ASEAN usai, mungkin alat musik tradisional yang digunakan akan kembali disimpan. Notasi-notasi lagu daerah yang dipelajari mungkin akan dilupakan.
Mencegah aksi penyelamatan budaya yang kadang hanya menjadi tren, Yazid sudah memiliki beberapa rencana untuk terus membangkitkan nyawa budaya daerah di negaranya.
"Beberapa rencana pewarisan budaya sudah banyak berjalan di Malaysia. Kami seringkali menggabungkan musik modern dengan alat musik tradisional. Ini dimaksudkan agar kaum muda tidak melupakan bentuk dan fungsi artefak sejarah itu," kata Yazid yang pernah melakukan hal tersebut saat konser Krisdayanti dan Rossa di Malaysia.
Bersama Istana Budaya Malaysia, Yazid juga sering mengadakan lomba orkestra musik daerah antar sekolah-sekolah. Untuk yang satu ini Indonesia patut meniru, jangan hanya menjadikan mata pelajaran dengan muatan internasional ke dalam kurikulum.
Mengutip pernyataan penutup dari Yazid, sesungguhnya budaya suatu negara tidak akan mati jika penduduknya masih berbudaya.
(ard/vga)