Jakarta, CNN Indonesia -- World Culture Forum (WCF) 2016 akan diselenggarakan di Bali Nusa Dua Convention Center pada 10-14 Oktober 2016. Tema tahun ini adalah Budaya bagi Dunia yang Inklusif Berkelanjutan (
Culture for an Inclusive Sustainable Planet).
WCF adalah forum untuk merumuskan landasan kebudayaan guna membangun dunia yang lebih inklusif dan lestari.
WCF 2016 adalah penyelenggaraan ke-dua. WCF pertama digelar pada 2013 yang menghadirkan dua pembicara kunci, yakni intelektual dan komentator sosial CNN DR Fareed Zakaria dan Profesor Ekonomi dan Filsafat Universitas Harvard Amartya Sen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Forum tahun ini diperkirakan akan dihadiri 1500 orang dari berbagai negara.
Dalam jumpa wartawan di Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa, Senin (18/4), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Anies Baswedan mengatakan, dengan beragamnya latar belakang peserta dari berbagai negara, WCF akan menjadi ajang pertukaaran gagasan dan pengalaman antarsektor, antarwilayah, dan antargenerasi.
“Berulangkali ditegaskan dalam konvensi dan dokumen UNESCO bahwa kebudayaan berada di hulu pembangunan. Tapi mengapa dalam praktiknya, kebudayaan masih sering dilihat sebagai pelengkap saja?” ujar Anies.
“WCF 2016 akan membahas semua itu dan keluar dengan gagasan dan solusi konkret. Dalam WCF yang pertama pada 2013 kita membuat
Bali Promise (Janji Bali), maka sekarang waktunya membuat rencana aksi.”
Garis besar isi Janji Bali adalah melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan dalam pembangunan budaya di semua tingkat dengan etos kerja terukur. Disepakati pula untuk mendukung kepemimpinan kaum muda di bidang kebudayaan serta diterapkannya konsep yang jernih dan adil dalam pengarusutamaan isu-isu gender. Sama pentingnya adalah menerapkan ilmu tempatan dalam konservasi lingkungan dan perlindungan warisan budaya.
Berbeda dengan sebelumnya, WCF 2016 akan memasukkan agenda kunjungan ke lapangan dan agenda kesenian sebagai bagian integral agar menjadi pengalaman bersama yang mengesankan.
Kesenian yang ditampilkan bukanlah sekadar dekorasi pelengkap acara, melainkan cara ekspresi. Kunjungan ke lapangan juga agar peserta dapat mengalami bersama apa yang dibicarakan, bukan semata-mata pengisi waktu senggang di antara jadwal forum.
“Perbedaan latar belakang seringkali menghambat komunikasi,” ujar Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. “Dengan pengalaman bersama di WCF 2016, semua yang dari latar belakang berlainan dapat bersatu membahas hal-hal strategis untuk menjadikan kebudayaan sebagai alas pembangunan.”
Kehadiran kaum muda dalam WCF 2016 juga mendapat tempat khusus. Akan ada Youth Forum yang dimulai pada awal Oktober, atau 12 hari sebelum forum utama dimulai.
Youth Forum bertujuan memberi kesempatan kaum muda membicarakan berbagai hal penting di antara mereka sendiri. Hasil pembicaraannya nanti akan disampaikan kepada peserta lain dalam grand plenary.
Mengapa kelompok muda sampai dibuatkan forum sendiri, tak lain karena mereka seringkali menawarkan hal baru yang belum pernah ada sebelumnya, yang menambah kekayaan warna budaya.
“Jika kaum tua berkesenian, mereka melestarikan tradisi. Sedangkan jika kaum muda berkesenian, mereka tidak hanya melanjutkan tapi juga mengembangkan, misalnya musiknya. Kaum muda membawa kebaruan,” ujar Anies.
(sil)