Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap musisi memiliki peruntungan yang berbeda. Ketatnya persaingan dari segi kualitas, membuat musisi berlomba-lomba tampil sesering mungkin, demi memamerkan karya dan meraih hati penggemarnya.
Tentu saja memenangkan persaingan tidaklah mudah. Apalagi jika seorang musisi benar-benar meniti kariernya dari awal: hanya bermodal karya dan tidak memiliki kenalan bos media, perusahaan rekaman atau jutawan kelas kakap.
Di kota-kota besar Indonesia, panggung kecil yang menampilkan musisi baru bisa dengan mudah ditemukan. Salah satunya ialah panggung musik di dalam kafe.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski sering luput dari perhatian, tapi panggung yang biasanya sempit dan seadanya ini telah melahirkan banyak musisi terkenal.
Beberapa musisi besar yang sempat merasakan perjuangan dari sana ialah Maliq & D'Essentials, The Groove, T Five dan /rif.
Sayangnya, belakangan ini, belum ada lagi musisi kafe yang mengikuti jejak mereka.
Entah karena persaingannya semakin ketat atau justru malah tidak ada yang merasa bersaing sama sekali.
Panggung Kafe Masih SakralMenurut Direktur Musik Prambors Radio Jakarta, Arga Narada, semakin jarangnya musisi baru yang mencicipi panggung kafe dikarenakan juga karena sudah semakin canggihnya perkembangan teknologi.
Jadi, daripada merasakan tampil di hadapan orang yang sedang menikmati santapan, mereka lebih memilih memajang karya di media sosial, seperti Youtube atau Soundcloud.
Padahal, Arga menganggap kalau panggung-panggung di kafe masih menjadi tempat yang sangat diperhitungkan untuk mengasah kemampuan menjadi penghibur yang mampu menghibur.
"Dua sampai tiga tahun belakangan ini, lebih banyak solois ketimbang band yang tampil di kafe. Saat ini, kondisinya sudah berbeda. Mungkin juga karena lebih banyak orang yang ingin menjadi solois, bukan membentuk band," kata Arga saat diwawancarai oleh CNNIndonesia.com pada Rabu (20/7).
Arga mencontohkan, salah satu solois yang cukup sukses meniti karier dari panggung kafe ialah Rendy Pandugo.
Setelah mencicipi beberapa panggung kafe-kafe di Jakarta, saat ini ia telah dipinang oleh perusahaan rekaman Sony Music Indonesia.
Salah satu singlenya yang kini sedang hits di radio dan televisi ialah gubahan ulang dari lagu Sheila on 7 yang bertajuk
Kisah Klasik untuk Masa Depan.Untuk bisa seperti sekarang, perjuangan Rendy tidaklah mulus. Seperti yang diceritakan Arga, ia sempat membentuk band bernama Riviera pada 2009 dan Dida Band pada 2011.
Kedua band tersebut lalu bubar, meski sempat merilis album. Setelah itu, baru Rendy mantap berkarier sebagai solois kafe.
"Dia sering tampil di kafe-kafe kawasan Senopati. Banyak yang suka dan bilang kalau karakter vokalnya mirip John Mayer. Dari promosi mulut ke mulut, perusahaan lalu tertarik," ujar Arga.
Rendy menjadi salah satu bukti, bahwa panggung kafe masih mampu mencetak musisi berkualitas, dari segi bakat dan kreatifitas.
Rendy juga menjadi bukti, kalau panggung kafe masih menjadi tempat yang memberikan banyak keuntungan.
"Setidaknya, kalau gagal menjadi musisi besar, masih bisa sukses di panggung kafe. Tentu saja dengan kemampuan menguasai panggung yang semakin terasah," kata Arga.
Dibanding musisi indie, Arga berpendapat, kalau musisi kafe memang diberi cobaan lebih banyak untuk mengembangkan bakatnya.
Banyak musisi kafe yang terjebak dalam zona nyaman, seperti membawakan lagu hits musisi lain, sehingga tidak sempat mengesksplorasi musikalitasnya.
Padahal, kemampuan, ciri khas dan karakter, menjadi modal penting dalam meraih hati petinggi industri musik.
"Seleksi alam juga sangat berpengaruh. Mereka yang terjebak di zona nyaman--karena sudah merasa cukup hanya dengan mendengar tepuk tangan pengunjung kafe, akhirnya hanya berakhir di panggung kafe. Ini sangat disayangkan. Padahal sebenarnya mereka bisa melakukan lebih dari itu, jika mereka mau," kata Arga.
"Banyak musisi kafe yang akhirnya kembali ke panggung kafe, karena salah langkah dalam hal konsep dan pemasaran serta ketidakpastian pasar musik di Indonesia."Arga Narada, Direktur Musik Prambors Radio Jakarta |
Ketidakpastian Pasar Musik di IndonesiaSudah memiliki banyak penggemar atau sampai dipinang oleh perusahaan rekaman besar bukan berarti perjuangan musisi kafe selesai.
Arga memberi contoh, banyak musisi kafe yang akhirnya kembali ke panggung kafe, karena salah langkah dalam hal konsep dan pemasaran serta ketidakpastian pasar musik di Indonesia.
Band pop R&B, T-Five, mengalami hal yang disebut terakhir.
Paul Arnold, salah satu personelnya, mengisahkan kalau T-Five memulai karier bermusiknya dari panggung kafe di kawasan Senayan pada 1999.
Ajakan itu bermula dari rekan mereka sesama musisi dari Bandung, The Groove.
Suatu malam, produser dan gitaris legendaris Gilang Ramadhan melihat potensi mereka. Di saat yang sama, euforia musik R&B dan hip-hop memang sedang melanda Indonesia.
Tidak lama, T-Five dipinang label rekaman Sony Music Indonesia dan sukses merilis tiga album musik
T-Five (2011),
Bebas (2003) dan
Back to Back (2005).
Lagu-lagu gubahan mereka seperti
Kau, Yang terindah dan
mIRC meledak di pasaran. T-Five pun mulai meninggalkan panggung kafe.
Sekitar dua tahun setelah album ke-tiga dirilis, euforia musik melayu mulai menampar eksistensi mereka.
Musik R&B dan hip hop yang T-Five gubah mulai kehilangan pendengar.
"Di Indonesia, pasar musiknya sangat tidak pasti. Jadi kalau ada euforia musik baru, yang lama langsung ditinggalkan pendengar. Padahal, bisa saja seiring berjalan," kata Paul.
"Kami yang sudah merasa tidak sejalan, lalu memutuskan untuk mundur dari label," lanjutnya.
Tidak lagi bergabung dengan label besar membuat para personel T-Five menyibukkan diri dengan membuat karya musik solo dan kembali ke panggung kafe.
Beruntung, penggemar dan komunitas masih terus memberikan dukungan, sehingga Paul dan kawan-kawan tetap merasa semangat bermusik.
"Sejak tampil di kafe, kami selalu menjaga hubungan baik dengan mereka. Jadi, ketika keluar dari label, kami tidak terlalu kehilangan eksistensi," ujar Paul.
Menyimak pernyataan Arga dan Paul, harus dipahami kalau sukses atau tidaknya seorang musisi kafe tidak semata urusan tepuk tangan pengunjung atau pinangan label rekaman.
Karena begitu banyak kesempatan yang dapat diraih di luar panggung kafe, hanya saja harus disertai dengan kemampuan membaca pasar yang tepat.
[Gambas:Youtube] (ard/ard)