Jakarta, CNN Indonesia -- Cerita
Train to Busan dibuka dengan adegan singkat yang memberi tahu bahwa ada kebocoran di sebuah pabrik biotek. Adegan lalu berpindah ke Seok-Woo (Gong Yoo), manajer pendanaan sebuah perusahaan, yang juga seorang ayah dari satu anak perempuan Soo-An (Kim Soo-Ahn).
Hubungan keduanya tidak begitu baik karena Seok lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya, dan satu-satunya permintaan Soo-an di hari jadinya adalah naik kereta menemui ibunya di Busan.
Perjalanan dengan kereta yang mestinya biasa saja menjadi kiamat kecil bagi Seok dan Soo-an, karena di dalam kereta yang akan berangkat terdapat seorang wanita yang terkena virus zombie.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka dan sejumlah penumpang lainnya; suami dan istri yang sedang hamil, pasangan remaja tim baseball, kakak beradik lanjut usia, pejabat angkuh dan tunawisma tak waras, mesti berjuang untuk bertahan hidup dari kejaran zombie.
Perjalanan dari Seoul menuju Busan jadi teror menyeramkan karena hampir separuh kota sudah terjangkit zombie. Dari satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya, mereka bertarung, dan diuji sisi kemanusiaannya. Apakah hanya peduli dengan hidup sendiri dan mengorbankan orang lain, atau bersama-sama selamat sampai di Busan?
Manusia vs ZombieTrain to Busan seketika mengingatkan akan film
Snowpiercer (2013) yang disutradarai Bong Joon Ho, karena sama-sama menggunakan kereta sebagai pengantar cerita. Bedanya, jika
Snowpiercer lebih kental mengkritisi soal perbedaan kelas sosial dan moral,
Train to Busan lebih menyentil soal manusia dan sisi kemanusiaannya.
Sebagai penulis naskah dan sutradara, Sang-ho Yeon, dengan sangat cerdas menempatkan karakter dan alur cerita. Setiap adegan di film ini memiliki tujuan, dan setiap momen hadir untuk satu alasan. Menariknya, tak ada satu pun yang gagal.
Setiap karakter, sekecil apa pun, tampak kuat dan memiliki peran penting. Ini tak lain berkat para aktor yang juga bermain cemerlang. Bahkan temasuk aktor cilik Kim Soo-Ahn sebagai Soo-an, yang kerap mencuri perhatian dan diyakini akan mendapat sorot lebih banyak di masa mendatang.
Dalam menggiring cerita, Sang-ho juga tidak egois mengejar ketegangan dengan terburu-buru, akan tetapi dengan sabar membuat penurunan demi penurunan adegan, agar penonton turut merasakan perjalanan yang dialami oleh para pemeran. Dan, di saat yang sama, ia menyelipkan pesan.
Hadirnya
Train to Busan menjadi gebrakan baru di dunia film Korea Selatan, setelah identik dengan genre drama romantisnya.
Sementara, zombie sudah lebih dulu digeber banyak sutradara Hollywood dari mulai
Night of the Living Dead yang disutradarai George A. Romero pada 1968, hingga
remake Dawn of the Dead milik Zack Snyder pada 2004.
Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan film zombie yang pemerannya lebih banyak melawan,
Train to Busan bercerita tentang bagaimana bertahan hidup. Para pemeran hanya melawan zombie, jika dibutuhkan. Ini menjadikannya lebih berasa nyata dan dekat dengan penonton.
Dan tentu saja ada alasan, kenapa sutradara memilih zombie sebagai pengantar ceritanya. Apa lagi yang dapat menggambarkan seramnya hawa nafsu yang mampu menghisap darah dan menyingkirkan sisi kemanusiaan manusia, selain zombie?
Film
Train to Busan tidak hanya menjadi film horor yang tegang, tapi juga sarat makna. Setidaknya usai dibawa naik-turun seolah berada dalam
roller-coaster, ada sesuatu yang dibawa pulang: kepedulian.
(rsa)