Jakarta, CNN Indonesia -- Auditorium Adhiyana di Wisma Antara penuh sesak, Rabu (26/10) pagi. Kebanyakan pengunjungnya berusia lanjut. Mereka adalah korban kekerasan masa lalu.
Kedatangan mereka dalam rangka Dialog Nasional Mendorong Pelembagaan Kebijakan Perlakuan Khusus bagi Korban Kekerasan Masa Lalu. Para korban itu bisa menyampaikan keluh kesan di acara yang digagas Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Acara itu akan mendiskusikan formula penegakan keadilan bagi korban kekerasan masa lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah wajah penuh harap para pengunjung, ada 15 perempuan berusia lanjut yang kompak menggunakan busana berwarna oranye. Dandanannya lengkap, seperti hendak pentas. Rambut disanggul. Wajah dibedaki, meski tak bisa menyembunyikan kerut di dahi dan wajah.
Menjelang acara dimulai, kelompok ibu-ibu itu beranjak dari kursinya di sudut. Beriringan mereka berjalan menuju panggung. Perlahan, karena usianya tak lagi muda dan sigap. Bahkan ada yang sudah mengenakan tongkat.
Tapi ketika mikrofon sudah di depan mulut, suara mereka tak bisa dibendung. Dipimpin satu dirijen mereka melantunkan lagu yang liriknya begitu kuat. Lagu itu seperti menyuarakan apa yang selama ini mereka rasakan, sebagai tahanan politik atau keluarga tapol 1965.
Lagu itu seperti menyeruak ‘keluar’ dari tirani Orde Baru yang dahulu memenjarakan mereka hanya karena dicap Partai Komunis Indonesia yang dianggap terkait peristiwa 1965.
Dari balik jeruji besi hatiku diujiApa aku emas sejati atau imitasiTiap kita menimpa diri, jadi kader teladanYang tahan angin yang tahan ujanTahan musim dan badaiMeskipun kini hujan deras menimpa bumiPenuh derita topan badai memecah ombakUntuk patria tembok tinggi memisah kitaNamun yakin dan pasti masa depan kan datangKita pasti kembaliTidak lama, hanya 12 menit mereka di atas panggung. Tiga lagu dinyanyikan.
Salam Harapan, Taman Bunga Plantungan, dan
Ujian. Tapi lirik yang mereka sampaikan membuat pendengarnya terpana. Tepuk tangan keras membahana, pujian tertinggi sebelum mereka turun panggung.
Mereka adalah Dialita, kelompok penyanyi yang juga korban kekerasan 1965. Tak heran lagu yang dibawakan terdengar luar biasa. Bukan hanya menghayati. Mereka juga mengalaminya.
 Foto: CNN Indonesia/M Andika Putra Penampilan Dialita di Dialog Nasional Mendorong Pelembagaan Kebijakan Perlakuan Khusus bagi Korban Kekerasan Masa Lalu. |
Menurut Rukmawati (70), salah satu anggota Dialita, hampir semua lagu yang dibawakan kelompoknya dibuat dari dalam penjara. “Ada yang sebelum dan sesudah 1965,” katanya.
Lirik yang berima, menjadi daya tarik tersendiri. Samar terdengar di kalangan pengunjung, beberapa ikut bernyanyi. Seperti berusaha membantu Dialita menyuarakan keadilan mereka.
Dialita sendiri merupakan akronim, dari ‘Di Atas Lima Puluh Tahun.’ Semua anggota kelompok itu memang berusia di atas 50 tahun. Hanya satu yang tidak. Semua dari Jabodetabek.
Rukmawati bercerita, Dialita dibentuk secara tidak sengaja. Ia dan ibu-ibu korban peristiwa 1965 suka berkumpul dan menyanyi bersama. Akhirnya, mereka membentuk paduan suara. “Awalnya natural, tapi untuk tampil kami minta Pak Martin Lapanguli untuk melatih.”
Seperti anggota Dialita, Martin juga merupakan korban 1965. Ia bahkan ikut diasingkan ke Pulau Buru bersama tapol lainnya, seperti pengarang Pramoedya Ananta Toer. Martin pernah mengenyam sekolah musik di Yogyakarta. Ia kini menjadi andalan bagi Dialita.
Empat tahun sudah Dialita terbentuk. Hingga kini mereka tak lelah memperjuangkan keadilan lewat nada. Setiap Sabtu, mereka bertemu untuk latihan. Itu menjadi alasan suara mereka tak sumbang meski usia sudah senja. Lewat lagu, Dialita berharap didengar pemerintah.
(rsa)