Jakarta, CNN Indonesia -- Warisan budaya etnis Tionghoa, barongsai dianggap mulai ditinggalkan generasi penerusnya. Nasibnya kurang lebih sama dengan Ondel-ondel khas Betawi, yang kini lebih banyak beraksi mengamen di pinggir jalan atau pusat keramaian.
Demikian disampaikan sutradara Ario Rubbik mengawali alasan di balik pembuatan film terbarunya
The Last Barongsai, di Kopi Kalyan, Jakarta, Rabu (21/12). Ario sebelumnya pernah membuat film
Satu Jam Saja, Hijabers in Love dan
Si Doel Anak Pinggiran. Gagasan akan pembuatan film ini, kata dia, berawal pada 2008, ketika pamannya aktor Rano Karno pernah bermain ke daerah tempat tinggal keturunan peranakan Tionghoa Benteng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu, dia (Rano) melihat ada kesamaan nasib barongsai dengan budaya Betawi, ondel-ondel yang mulai ditinggalkan anak-anak muda," kata Ario.
Merunut kembali ke masa silam, ondel-ondel dan barongsai mulanya digunakan untuk mengusir roh jahat. Namun, kini nasib keduanya lebih banyak beraksi untuk mengamen di pinggir jalan atau pusat keramaian.
"Secara tradisi berubah, dahulu Barongsai menjadi pertunjukan acara sakral di klenteng atau saat perayaan Cap Go Meh [Imlek], tapi sekarang mengamen dan sebenarnya tidak boleh ada di mall-mall," ungkap Ario menambahkan.
Beranjak dari itu, Ario ditunjuk untuk mengarahkan film drama keluarga dengan balutan budaya Tionghoa peranakan di Indonesia, khususnya di Tangerang Banten.
"Film ini menggambarkan akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia, bercerita tentang keluarga yang berusaha mempertahankan tradisi dalam keluarga mereka yaitu tradisi Barongsai dengan segala permasalahannya," tutur dia lebih lanjut.
Cerita dari film
The Last Barongsai sendiri diungkapkan Ario diadaptasi dari novel berjudul sama yang dirilis pada empat tahun silam. Novel itu ditulis oleh Pere Sumbada yang mana ide ceritanya berasal dari pengalaman Rano Karno.
Kisah nyataFilm
The Last Barongsai beranjak dari kisah nyata. Setidaknya demikian disampaikan Rano Karno yang pada 2008-2013 menjabat sebagai Wakil Bupati Tangerang.
"Pada tahun-tahun itu, saya menemukan sebuah kultur (etnis) di Tangerang, yaitu China Benteng," ujarnya mengawali cerita.
China Benteng tersebut terbentuk setelah perang VOC dan Tionghoa pada 1740. Mereka kemudian terpecah ke wilayah Tangerang dan Karawang.
"Ternyata etnis ini sangat mempengaruhi ekonomi, bahkan segi agama. Banyak ulama-ulama China yang terkenal. Tapi saya tidak membicarakan itu, saya bicara ada kesenian yang sama dengan betawi," katanya.
Rano kemudian menyatakan bahwa kesamaan yang dirasakannya adalah kekhawatiran akan penerusnya tak lagi menggemari kesenian tersebut.
"Intinya bahwa kebudayaan itu harus dipertahankan dan dijaga, dilestarikan karena itu adalah sebuah kekuatan satu bangsa," ujar pemeran Doel dalam serial TV "Si Doel Anak Sekolahan".
Hingga akhirnya ia pun mengembangkan hal tersebut tak hanya menjadi cerita dalam sebuah novel tapi juga diangkat menjadi sebuah film. Dalam film tersebut, Rano juga kemudian turut bermain, selain Produser Eksekutif.
Selain Rano, film itu turut dibintangi oleh Dion Wiyoko, Tyo Pakusadewo, Azis Gagap, Vinessa Inez dan Furry Citra. Sementara, skenario film itu ditulis ulang oleh Titien Wattimena.
Proses risetDiakui sang produser Rubby Karno, literatur yang terbatas sempat menghambat proses produksi. Ario pun memaparkan lebih lanjut soal hal itu bahwa menurutnya ia memerlukan riset ulang untuk mendapatkan cerita yang sesuai.
"Kami ke Semarang, Medan, hingga Singkawang, ternyata budaya Tionghoa tiap daerah berbeda. Tapi kami sepakat mengerucutkannya pada etnis Tionghoa yang ada di Tangerang," paparnya yang juga mengatakan bahwa proses syutingnya sendiri hanya dilakukan selama 16 hari.
"Yang kami potret tentang akulturasi dan asimilasi budaya itu sendiri. Kesulitan pasti ada, literasi terbatas dari mulut ke mulut. Hingga pada 2015, saya dan Titien menginap di komunitasnya untuk mengamati aktivitasnya, berpakaian dan bertutur," pungkas Ario.
Film yang berada di bawah naungan rumah produksi Karnos Film dijadwalkan rilis pada 26 Januari 2017.
(rah)