'Tak Ada Genre Religi, yang Ada Hanya Film Bernuansa Agama'

CNN Indonesia
Kamis, 08 Jun 2017 12:55 WIB
Hanung Bramantyo menyebut, sebenarnya tak ada genre film religi, seperti banyak anggapan masyarakat. Alih-alih, yang menjamur adalah film bernuansa agama.
Hanung Bramantyo menyebut, sebenarnya tak ada genre film religi, seperti banyak anggapan masyarakat. Alih-alih, yang menjamur adalah film bernuansa agama, misalnya film 'Surga yang Tak Dirindukan 2.' (Foto: Dok. MD Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Layar lebar Indonesia beberapa tahun belakangan dihiasi film bernuansa religi, terutama agama Islam. Berawal dari Ayat-Ayat Cinta hasil arahan Hanung Bramantyo yang meledak pada 2008, film dengan latar kebudayaan Islam kian menjamur.

Film-film itu kemudian banyak dipadukan dengan beragam kebudayaan lain seperti China, Eropa, bahkan hingga Amerika.

Meski mengangkat tema kebudayaan Islam dan sangat religius, film-film itu tak bisa langsung dikategorikan sebagai film religi, seperti yang banyak dianggap masyarakat.
Sutradara Hanung Bramantyo menilai anggapan itu merupakan salah kaprah yang terjadi di masyarakat. Hanung menyatakan kategori atau genre film religi itu bahkan tidak ada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau film religi itu tidak ada, yang ada itu film drama yang berlatar agama, karena dasar ceritanya adalah agama," kata Hanung kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Menurut sineas kelahiran 1975 itu, sebuah film tak bisa dikategorikan sebagai film religi lantaran tak memiliki batasan yang jelas seperti kategori film lain. Hanung menjelaskan, meski pemerannya menggunakan jilbab, mengucapkan ‘Assalamualaikum,’ dan melaksanakan salat, sebuah film tak bisa disebut bergenre religi.

"Film Iraq itu semua pakai jilbab dan itu bukan film religi, begitu lho. Jadi apa batasannya? Makanya buat saya itu salah kaprah," ujarnya.
Sebaliknya, menurut Hanung, jika memang ada batasan untuk film religi, maka film yang mengajak kepada kebaikan meski tidak membawa ayat-ayat tertentu dan beribadah juga seharusnya bisa masuk dalam ketegori film religi.

Berbeda dengan genre film lain, Hanung beranggapan batasan film religi tak dapat diukur, misalnya kategori laga yang dinilai dari banyaknya adegan aksi pemukulan yang terjadi dalam film, biopik yang mengangkat sosok seseorang, serta fiksi ilmiah yang berarti ada hal lain di luar kehidupan nyata.

"Tapi film religi apa? Saya tidak menemukan itu, karena agama itu luas dan berbicara tentang nilai dan kemanusiaan tanpa batas," tuturnya.

Hanung menyebut Ayat-Ayat Cinta masuk dalam kategori film drama romantis karena berisi orang yang jatuh cinta lalu kemudian menikah. Hanya saja, mereka menggunakan sistem taaruf a la Islam. Ayat-Ayat Cinta, tuturnya, merupakan romansa yang berlatar negeri Mesir yang berkebudayaan Islam.
Pun dengan Surga yang Tak Dirindukan 2, yang juga digarap Hanung. Menurutnya, itu bukan termasuk film religi, melainkan drama romantis yang berlatar agama, karena berbicara tentang poligami. Kendati demikian, poligami juga merupakan bagian kehidupan sebagaimana drama perkawinan yang dibumbui orang ke-tiga.

Lain lagi dengan film Sang Pencerah yang kental dengan agama Islam. Hanung menjelaskan, film itu masuk kategori biopik karena berkisah tentang sosok KH Ahmad Dahlan yang melakukan perubahan di masanya. Film itu kental dengan Islam karena Ahmad Dahlan merupakan penganut agama Islam.

"Karena Kyai Haji,  tentu dia seorang muslim. Tapi genre film itu biopik bukan film religi," ujarnya.

Selain tak ada batasan yang jelas, kategori film religi juga dinilai dapat membuat perbedaan yang saling bertentangan. Hanung menyebut kategori itu membuat dikotomi yang berpotensi membuat orang-orang menjadi kebingungan.
Menjamur di Indonesia

Banyaknya film bernuansa Islam di Indonesia, menurut Hanung, merupakan hal yang wajar. Pasalnya, 80 persen penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga banyak kisah yang bisa diangkat dan dekat dengat masyarakat.

Sama halnya dengan Hollywood di mana mayoritas beragama Kristen maupun Yahudi. Alhasil, film-film Hollywood banyak membahas tentang kebudayaan tersebut, mulai dari cara beribadah hingga kisah yang melibatkan gereja. Dengan gampang ditemui dalam film Hollywood orang-orang beribadah ke gereja atau kisah tentang suster dan pastur yang mengabdi untuk umat.

"Sama halnya di Hollywood, 80 persen Yahudi dan yang membuat film juga Yahudi. Jadi semua film-film yang berlatar Yahudi diapresiasi di Oscar karena penduduknya 80 persen Yahudi," katanya.

Hal serupa juga terjadi dalam film-film Bollywood buatan para sineas India yang banyak mengangkat kisah bernuansa Hindu, karena keseharian masyarakatnya hidup dengan ajaran agama tersebut.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER