Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Republic Manufacturing Company (Remaco) Records mungkin asing di telinga insan musik era 2000an ke atas. Wajar saja, karena perusahaan rekaman itu sudah tidak aktif sebagai label rekaman yang melahirkan musisi seperti zaman dulu. Tepatnya, era 50an sampai 70an kala Remaco menjadi 'macan' label Indonesia.
Remaco didirikan oleh pasangan suami istri Moestari dan Titien Soemarni pada 1954. Beralamat di Jalan Abdurrahman I, Tanah Pasir, Jakarta Utara, kala itu Remaco bergerak sebagai perusahaan pencetak piringan hitam. Belum menjadi label rekaman.
Beberapa tahun kemudian Remaco berdiri, perusahaan itu mulai melebarkan sayap menjadi label rekaman. Bukan hanya Moestari dan Titien, seorang bernama Jan Tjia yang juga memiliki Remaco berperan dalam proses tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian Jan Tjia menikah dengan Erna Hoekwater, dengan begitu ia menjadi ayah tiri saya. Ibu saya punya empat anak dari Jan, saat itu saya belum lahir," kata Sheila Timothy kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Lala, sapaan karib Sheila, bercerita Jan bersahabat dengan seorang bernama Eugene Timothy. Menurut Lala, Eugene memiliki perawakan tubuh yang cukup besar sehingga nampak galak. Belum lagi sifatnya yang kaku terhadap orang yang belum dikenal dekat.
Sembari bekerja di Remaco, Jan sering menghabiskan waktu dengan Eugene. Eugene juga sering main ke kediaman Jan sehingga dekat dengan empat anak Jan. Pun begitu, Eugene juga bersahabat dengan Erna.
Sejak menjadi label rekaman, Remaco memproduksi lagu-lagu bernada keroncong dan musik bernuansa tropis. Ketika Moeestari dan Titien meninggal dunia pada 1964, Jan pun mau tak mau mengelola Remaco seorang diri.
 Remaco sempat beberap kali berpindah tangan sejak didirikan. CNN Indonesia/M Andika Putra |
"Di tahun yang sama Jan Tjia sakit, selama sakit dia diurus Eugene. Tak lama kemudian ia meninggal dan menyerahkan kepemilikan Remaco pada Erna yang seorang ibu rumah tangga. Setelah itu Eugene menikah dengan Erna," kata Lala.
Lala melanjutkan, "Eugene mengambil alih Remaco karena tidak mungkin Erna yang kelola. Kemudian lahir saya dan Marsha Timothy. Saya memiliki empat kakak tiri tapi tidak seperti tiri karena kami sangat dekat."
Menurut Lala, Eugene bukanlah orang yang tertarik atau memahami dunia rekaman. Lala mengenal Eugene sebagai ayah yang tidak memiliki 'sense of music' dan sama sekali tidak bisa memainkan alat musik. Tetapi Eugene adalah orang yang sangat detil dalam segala hal.
Ia baru mulai berkecimpung di dunia rekaman ketika mengambil alih Remaco pada tahun 1964. Sejak saat itu Eugene terus belajar menjadi produser musik. Pucuk dicita ulam pun tiba, tangan Eugene ternyata berhasil membuat Remaco semakin berjaya.
Nama-nama musisi kenamaan era 50an dan 70an diproduksi atau sempat dinaungi label Remaco Records. Seperti Ernie Djohan, Enteng Tanamal, Pattie Bersaudara, Bob Tutupoly, Benyamin Sueb, Eddy Silitonga, Roma Irama, Elvy Sukaesih dan Ade Manuhutu.
 Lala Timothy mewarisi Remaco Records dari ayahnya. (CNN Indonesia/M Andika Putra) |
Selain itu ada pula grup musik seperti Koes Plus, The Rollies, Bimbo, Panbers, Favorites Group, D'Lloyd, The Mercy's, Muchsin & Titiek Sandhora. Rasanya tak berlebihan jika disebut Remaco Records menghasilkan harta karun musik Indonesia.
"Remaco sempat kena musibah karena salah satu tangan kanan ayah saya banyak melakukan penipuan sampai akhirnya bangkrut. Dari situ Remaco menyatakan diri pailit dan enggak produksi lagi, itu sekitar tahun 1978," kata Lala.
Eugene, kata Lala, membawa semua master rekaman ke rumah keluarga yang berada di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Ia memulai bisnis dengan merilis ulang karya tersebut melalui salah satu label rekaman di Jakarta. Eugene juga membuat PT Mutiara Records untuk merilis ulang karya musisi yang dinaungi Remaco.
Lala mengatakan bahwa Eugene memiliki sifat lone fighter sehingga terbiasa melakukan apa pun sendiri. Setelah Remaco pailit, ia berbisnis musik sendirian. Baru pada 1997 Lala dan kakak tirinya, Andre, membantu Euegene.
Kala itu Lala yang masih kuliah membantu Eugene dengan mempelajari aturan hukum terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Aturan hukum tersebut penting dipelajari sebagai bekal menghadapi masalah hak cipta musisi. Salah satu grup musik yang membicarakan masalah hak cipta dengan Eugene, cerita Lala, adalah Bimbo.
 Remaco awalnya merupakan perusahaan piringan hitam. (Repro dari dokumentasi Remaco Records) |
"Bimbo menuntut, tapi ayah saya punya bukti sehingga tidak bisa. Ya Bimbo dengan Remaco itu
love-hate relationship, kadang baik kadang berantem. Kemarin saya bekerja sama dengan anak Sam Bimbo di film Tabula Rasa, saya bilang ke dia yang lalu biar berlalu," kata Lala yang kini juga berprofesi sebagai produser film.
Satu keluarga kelimpungan ketika Eugene meninggal pada 2000 lantaran tidak ada yang mengambil alih harta karun musik Indonesia itu. Lala yang belum masuk ke dunia film saat itu akhirnya mengambil alih bersama suaminya, Luki Wanandi.
"Aset Remaco banyak sekali, dan ini harta musik Indonesia, bisa dibilang seluruh perjalanan musik Indonesia ada di situ. Saya butuh waktu untuk membereskan dan tentu butuh dana," kata Lala.
Sekitar 300 master rekaman dari berbagai musisi kini tergeletak dalam sebuah ruangan di bangunan di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Master rekaman itu dipindahkan pada 2005 ketika rumah Eugene yang di Kemang tak lagi ditinggali.
Betapa takjubnya Lala melihat master rekaman Ibu Sud ketika sedang memindahkan master tersebut. Hampir semua master rekaman itu, kata Lala, masih dalam kondisi baik. Sementara beberapa master ada yang sudah didigitalisasi walau tidak direstorasi.
 Penyanyi Muchsin dan Titik Sandora pernah bernaung di bawah Remaco Records. (Repro dari dokumentasi Remaco Records) |
Saat ini ruangan itu sudah layak untuk menyimpan pita karena dipakai untuk menyimpan pita film Pintu Terlarang (2009) dan beberapa film produksi Lifelike Pictures yang dimiliki Lala. CNNIndonesia.com meminta masuk ke dalam ruangan itu, namun tidak diizinkan karena sedang direnovasi.
"Saya harus bongkar dan melihat satu-satu, tapi belum ada waktu. Selain sedang di renovasi, ruangan itu juga berantakan karena ada prostetik Sinto Gendeng dan wig Wiro Sableng," kata Lala yang kini sedang menggarap film
Wiro Sableng.
Lala bertekad mengawinkan harta Remaco dengan film. Ia ingin membuat film yang digerakkan oleh musik seperti
Baby Driver.
"Saya pernah pakai lagu Ernie Djohan dan Sam Saimun untuk film
Tabula Rasa. Lagu itu saya dapat dari master rekaman milik Remaco, sebelum pakai saya urus izin dulu," kata Lala.
Perempuan kelahiran Jakarta bulan November 1971 ini mengaku belum terpikirkan untuk merilis ulang karya musisi secara sendiri tanpa film. Selain butuh waktu untuk menyortir, Lala juga membutuhkan dana.
"Tapi Remaco masih ada sebagai perusahaan dan terdaftar, kami perbarui waktu saya dan suami ambil alih. Saya di Remaco sebagai
Board of Director. Jadi kalau saya mau rilis ulang sebenarnya bisa," kata Lala.
(stu)