Jakarta, CNN Indonesia -- Sutradara
Dimas Djayadiningrat mengaku tak punya rujukan yang mengarah pada budaya luar untuk iklan-iklan yang digarapnya. Alih-alih, ia menyebut inspirasi yang datang justru dari nilai-nilai kearifan lokal.
Dimas menilai adanya unsur kedekatan antara pesan yang akan disampaikan, dengan masyarakat Indonesia sebagai target audiens iklan yang akan dibuat, menjadi daya tarik tersendiri.
"Nilai-nilai lokal Indonesia ini yang selalu saya sampaikan saat sesi khusus. Ambil nilai-nilai lokal, karena itu ciri khas dan
insight kita," katanya kepada
CNNIndonesia.com saat ditemui di kediamannya di kawasan Ampera, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran 1973 itu mencontohkan, saat membuat iklan untuk produk sepatu
boots, dia menggunakan rujukan tradisi yang dipercaya sebagian masyarakat di mana sepatu baru harus diinjak dulu.
"Kita bisa dengan mudah
ngomongin, kalau sepatu baru itu diinjak, mudah
banget kan. Semua pernah mengalami. Itu ciri khas kita dan memang mesti digali konten lokalnya yang besar. Risikonya? Orang bule enggak mengerti," katanya.
"Tidak apa-apa, buat mereka [orang bule] mengertilah. Buktinya, kita dipaksa mengerti lawakan mereka, berusaha untuk mencerna, mereka juga harus begitu. Kalau mau jadi negara superior, saya enggak terima kalau kita diminta ikut lawakan bule," imbuhnya.
Dimas sendiri menyatakan tak pernah mengikuti apa yang menjadi daya tarik iklan di luar. Meski demikian, ia tak menampik bahwa ada beberapa iklan asing yang ia sukai.
"Saya tidak suka lawakan Bangkok.
British cukup suka dengan
dry joke-nya, tapi tidak kena di sini. Amerika tidak suka, India cukup suka juga dengan receh-recehnya. Tapi pada akhirnya, inspirasi datang dari orang Indonesia sendiri, orang lokal sendiri," katanya.
Meski telah menekuni bidang periklanan selama hampir 20 tahun, Dimas mengaku masih mencari formulasi tokcer dalam menciptakan pariwara yang disukai orang Indonesia seluruhnya.
"Bangkok sudah temukan bentuknya, Inggris sudah temukan dengan
dry joke, India dengan ada unsur seksnya yang agak norak, tapi dicintai rakyat dan penontonnya," katanya.
Ia melanjutkan, "Indonesia juga harus begitu, bisa menggunakan lawakan lokal Indonesia, kan itu datangnya dari hal receh-receh, tukang ini, tukang anu, kasidah ini. Memang kayak misalnya kolosal itu sebetulnya meledek kolosal yang segitu hancurnya, tidak terkonsepnya film-film kolosal."
(res)