Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu anggota tim Jackie Chan terlibat dalam produksi film
Wiro Sableng 212 hasil kerja sama Lifelike Pictures dari Indonesia dan Fox International Productions.
Produser sekaligus penulis naskah Sheila Timothy mengatakan, ia merekrut Chan Man Ching sebagai
fighting director, di samping Yayan Ruhian sebagai koreografer.
Itu dilakukan karena adegan laga menjadi sajian utama
Wiro Sableng 212. Lala-sapaan akrab Sheila Timothy-pun ingin melibatkan orang terbaik dalam bidangnya untuk menggarap itu. Selain koreografer, ia butuh
fighting director agar adegan laga semakin terlihat mulus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau Yayan berpengalaman di
The Raid (2011) dan
The Raid 2 (2014), bahkan
Star Wars: The Force Awakens (2015), jangkauan Man Ching lebih luas lagi.
"Chan Man Ching dari China, dan dia adalah tim Jackie Chan. Dia terlibat dalam film
Hellboy II: The Golden Army [2008] dan
Rumble in the Bronx [1995]," kata Lala dalam wawancara dengan
CNNIndonesia.com di kawasan Jakarta Pusat, pekan lalu.
Man Ching sudah 35 tahun berkecimpung dalam dunia film.
Lewat berbagai film ia bekerja sama dengan Jackie Chan sebagai koreografer dan
assistant stunt coordinator. Beberapa di antaranya adalah
Rush Hour (1998),
Mr. Nice Guy (1997) dan
Police Story 4: First Strike (1996). Menariknya, Man Ching punya kaitan dengan Indonesia.
Ia bukan keturunan China asli. Ayah kandungnya justru seorang Jawa yang tinggal di Hongkong sejak menikah dengan ibunya, seorang asli China.
Sejak 2010, Man Ching berdomisili di Brunei Darussalam. Di sana ia masih sempat menggarap beberapa film, salah satunya tetang silat, bertajuk
Yasmine (2014). Secara tidak langsung film itulah yang berhasil 'memperkenalkannya' kepada Lala, lalu terlibat di
Wiro Sableng.
"Saya bisa terlibat dalam film ini karena kenal dengan orang marketing Lifelike waktu di Brunei. Dia rekomendasi saya ke Lala karena sebelumnya saya terlibat film Yasmine sebagai
action director," kata Man Ching kepada
CNNIndonesia.com awal pekan ini.
Film itu pun membuatnya agak familier dengan silat.
Wiro Sableng 212 pun menjadi film Indonesia pertama Man Ching terlibat. Ia merasa nyaman dan senang bisa bekerja sama dengan sineas Indonesia yang menurutnya sangat berkualitas.
Semua tim dan kru, kata Man Ching, bekerja sama dengan baik dan sangat profesional. Dari film ini Man Ching belajar bagaimana budaya bekerja di dunia perfilman Indonesia.
"[Salah satu alasan saya mau bekerja sama dalam film ini] karena ingin belajar sejarah, gaya, karakter dan budaya [perfilman] Indonesia. Saat bekerja dengan sineas Indonesia saya merasa nyaman," kata Man Ching dalam bahasa Inggris yang kental dengan logat China.
Selama menggarap
Wiro Sableng 212 Man Ching mengaku tidak mengalami kesulitan karena menurutnya Yayan sudah membuat koreografi silat yang bagus. Ia hanya perlu menyesuaikan pergerakan kamera agar adegan bertarung tertangkap dengan baik di layar lebar.
Ada beberapa sudut pengambilan gambar yang diubah sedikit karena ingin menangkap gerakan detail silatnya. Namun ia tidak benar-benar mengubah koreografi bikinan Yayan.
"Ketika mengerjakan film
action saya berpikir bagaimana kamera menangkap adegan pertarungan dengan baik. Kamera bergerak mengalir mengikuti
mood koreografi, bukan hanya menangkap pertarungan [pukul-pukulan] saja," kata Man Ching menjelaskan.
Ketika diminta membandingkan apakah koreografi yang dibuat Yayan sebagus Jackie Chan, Man menjawab dengan diplomatis. Ia menilai gaya koreografi silat dan kung fu berbeda.
[Gambas:Youtube]"Sudah pasti Yayan yang nomor satu di Indonesia, tapi untuk seluruh dunia sudah pasti Jackie chan. Tapi mana yang bagus mana yang buruk, bagi saya dalam film sama, tidak perlu pilih mana yang bagus dan mana yang buruk," kata Man Ching.
(rsa)