Sutradara film 'I Am Samuel', Peter Murimi ingin industri film Kenya mengikuti jejak Hollywood dalam mempromosikan hak-hak kaum LGBTQ (lesbian, gay, biseksual dan transgender).
"Peran yang dimainkan Hollywood dalam memajukan hak LGBTQ di Amerika Serikat sangat besar, tidak bisa diremehkan," ungkapnya dikutip AFP, Minggu (11/10).
Film 'I Am Samuel' menceritakan hubungan sesama jenis di tengah konservatisme agama dan budaya di sub-sahara Afrika. Murimi merupakan sutradara yang banyak mengangkat problem sosial dalam film garapannya dan merupakan seorang heteroseksual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Film ini mengisahkan dua pria dengan ekonomi sederhana yang tinggal di ibu kota Nairobi. Mereka harus menghadapi tekanan seksualitas di tengah hukum Kenya yang dapat mengancam pidana hingga 14 tahun penjara jika terbukti melawan tatanan alam.
Aturan ini didasari oleh undang-undang yang ditetapkan tahun lalu. Namun alih-alih memperdebatkan hak LGBTQ dari pandangan hukum, Murimi lebih banyak mengulik perjuangan Samuel di hadapan keluarganya yang tinggal di perdesaan Kenya.
Dalam film garapannya ini, ia ingin membuka pandangan orang tua terhadap hubungan homoseksual. Sehingga pihaknya berupaya membuat plot yang mudah dipahami oleh orang tua.
"Banyak sekali ayah yang anaknya gay yang akan terkait dengan film ini. Banyak sekali orang yang kakak dan adiknya gay dan akan terkait dengan film ini," lanjutnya.
Meskipun tak yakin pihaknya bakal mendapat izin untuk menayangkan filmnya di Kenya, film dokumenter tersebut berhasil menembus kancah dunia dengan pemutaran di Festival Film London akhir pekan ini.
Ia percaya jika layar lebar di seluruh benua lebih banyak menggambarkan hubungan homoseksual, dunia akan kian mudah menerima dan mendekriminalisasi kaum LGBTQ, serta mengakui hak mereka.
"Anda bisa lihat orang gay di Hollywood, dan perlahan itu menjadi lebih mudah [diterima]," katanya.
Ketika proses syuting, salah satu protagonis dalam film bahkan harus pindah rumah demi menjamin keselamatan. Meski begitu, Murimi meyakini negaranya sudah lebih toleran seiring berjalannya waktu.
"Dalam 10 tahun terakhir [hak LGBTQ] sebenarnya telah membuat banyak langkah yang positif," jelasnya.
"Jadi kami akan mencoba yang terbaik dan mudah-mudahan orang Kenya akan melihatnya, dan itu yang kami inginkan," lanjutnya lagi.
Langkah yang dilakukan Murimi ini sesungguhnya bukan yang upaya mendorong isu LBGTQ pertama yang dilakukan di industri perfilman Kenya.
Badan sensor Kenya sempat melarang penayangan film tentang perselingkuhan lesbian pada 2018 berjudul 'Rafiki'. Namun pada akhirnya film tersebut diperbolehkan tayang dan laku di pasaran.
Sedangkan di Lagos, Nigeria, film berjudul 'Walking with Shadows' yang menceritakan tentang hubungan romantis dua pria mendapat pujian kritis setelah dirilis secara terbatas.
(fey/evn)