"Arasoooo!"
Anak perempuan berambut pendek itu berteriak, tanda menyanggupi permintaan ibunya untuk mengantarkan santapan makan malam ke rumah tetangganya.
Di tengah jalan, ia berpapasan dengan teman-temannya yang juga disuruh orang tuanya untuk mengantarkan makanan ke rumah sebelah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adegan tersebut menghiasi episode pertama Reply 1988, serial televisi yang disebut-sebut mendobrak pakem drama Korea kebanyakan.
Berlatar Korea di akhir medio 1980-an, Reply 1988 menyuguhkan kisah yang mendobrak pakem-pakem drama Korea selama ini.
Tak ada kisah cinta berlebihan, gemerlap hidup perkotaan, pertengkaran si kaya dan si miskin, atau penonjolan sosok rupawan dalam Reply 1988.
Melalui kisah-kisah keluarga yang tinggal di satu gang di Ssangmun-dong, Seoul, drama Korea ini menyuguhkan cerminan kesederhanaan hidup dalam keluarga, bertetangga, dan persahabatan.
![]() |
Ritme cerita pun hanyalah potret realita kehidupan sehari-hari, yang memang dilalui banyak orang di tahun 1980-an.
Namun menurut profesor di Universitas Teknologi Nanyang, Lee Sang-joon, kesederhanaan ini justru menjadi pesona Reply 1988 di tengah drama Korea yang menyuguhkan keseragaman.
"Ini adalah drama TV tanpa pewaris konglomerat yang tampan dan kaya," katanya pada Januari 2016 lalu, sebagaimana dilansir The Straits Times.
Sejumlah pengamat menganggap tim produksi sangat cerdas mengambil latar pada 1988, tahun yang memang signifikan dalam proses perkembangan Kota Seoul.
![]() |
Reply 1988 dibuka dengan momen ketika Deok-sun (Hyeri) yang bergembira karena dapat mengibarkan bendera Madagaskar dalam upacara pembukaan Olimpiade di Korea.
Sebagaimana dilansir New Yorker, di dunia nyata, Olimpiade di Seoul pada 1988 memang berperan besar dalam membawa kebudayaan dan cara pandang dunia ke kota yang sedang berkembang tersebut.
Kala itu, budaya dari berbagai belahan dunia mulai masuk ke Korsel, negara yang masih terkekang kediktatoran, konservatisme, serta kemiskinan.
Sutradara Reply 1988, Shin Won-ho, sendiri mengaku bahwa ia sengaja memilih latar tahun 1988 agar dapat menangkap kisah humanis di Korea Selatan di masa kehangatan hubungan antarmanusia masih sangat terasa.
"Karena kami ingin membuat cerita mengenai keluarga, tetangga, dan persahabatan, kami tidak punya banyak pilihan. Rasanya tidak tepat jika kami menciptakan kisah keluarga hangat di tahun 1999 atau 2002," tutur Shin Won-ho kepada The Korea Herald.
"Dalam ingatan saya, tahun 1988 di Korea masih ada banyak kehangatan dan kasih sayang dalam hubungan antarpribadi, tak peduli bagaimana pun kondisi ekonomi, sosial, dan politiknya."
Shin Won-ho juga menegaskan bahwa ia tak ingin memasukkan terlalu banyak momen bersejarah agar tidak merusak kesederhanaan cerita Reply 1988.
"Ada film-film seperti Forrest Gump dimana karakter utamanya menjadi bagian dari momen-momen bersejarah. Fokus kami lebih pada realita yang bisa dipercaya," katanya.
Ia kemudian berkata, "Jika kami mencoba memasukkan banyak acara besar ke dalam cerita keluarga, itu tentu akan merusak identitas program ini. Kami mencoba menggambarkan sejarah sebagaimana dialami oleh orang biasa."
![]() |
Dalam drama, Shin Won-ho memang menggambarkan momen-momen bersejarah itu dalam keseharian keluarga di gang Ssangmun-dong tersebut.
Para orang tua mengeluhkan pekerjaan dan keadaan rumah, sementara anak-anaknya asyik berkumpul, terobsesi dengan musik baru, memakai celana jin high-waist, sepatu Air Jordan, hingga diam-diam menonton film dewasa.
Tidak ada pula kematian dramatis, adegan perselingkuhan heboh, atau karakter antagonis yang biasanya menjadi sorotan besar dalam drama-drama Korea lainnya.
Akademisi film dari Institut Kesenian Jakarta, Satrio 'Pepo' Pamungkas, juga mengakui ketiadaan pakem drama Korea dalam Reply 1988. Namun, ia melihat "sosok" antagonis dalam drama ini bukan manusia, melainkan situasi yang terjadi dalam hidup.
"Drama ini merepresentasikan sebuah situasi dan kondisi. Kalau mempertanyakan antagonisnya siapa? Ya antagonisnya itu situasi, keadaan, serta problem yang dihadapi. Bukan seseorang, bukan sebuah kejahatan," katanya.
Dalam drama ini, tiap karakter memang digambarkan menghadapi problem hidup masing-masing, seperti yang umumnya dialami orang-orang biasa.
Misalnya, di balik keceriaan sosokDeok-sun, ia tertekan karena terus berada di peringkat terbawah di sekolah. Belum lagi, sebagai anak tengah ia kerap merasa tak dipedulikan kedua orang tuanya yang selalu mengutamakan sang kakak dan adik.
![]() |
Di balik itu, orang tua Deok-sun sendiri menghadapi masalah keuangan. Begitu pula Kim Sun-young yang berjuang sebagai orangtua tunggal dari Sun-woo dan Jin-joo.
Ada pula karakter Kim Jung-bong yang tak kunjung lolos ujian masuk universitas meski berulang kali mencoba.
Satrio kemudian mengatakan bahwa kesederhanaan yang disajikan dalam Reply 1988 pada akhirnya menjadi salah satu kekuatan drama ini.
"Drama ini terasa otentik karena diangkat dari kehidupan sehari-hari. Dia mengangkat budaya dari suatu daerah yang ada di kota, kampung yang ada di kota urban Seoul," katanya.
"Di situ ada urban culture, menjual style-nya, lalu kepolosannya, di tengah orang yang sudah lelah menonton Korea yang 'nyentrik.'"
(agn/has)