Saya masih ingat betul suatu hari pada Februari 2017, ketika saya tiba di kantor dan langsung dihadapkan pada peristiwa absurd dunia hiburan: salah sebut pemenang Best Picture Oscar.
Kali ini dalam Oscar 2022 -- ketika saya kembali menuliskan ajang perfilman ini untuk kesekian kalinya-- saya menemukan hal absurd terbaru dari acara yang mestinya berlangsung 'terhormat': drama Will Smith menampar Chris Rock.
Jujur saja, bagi saya yang sudah akrab dengan berbagai gimik di dunia hiburan baik Hollywood maupun lokal, adegan ini saya anggap rekaan belaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi Will Smith juga sempat cengengesan usai Chris Rock melontarkan guyon soal istrinya, Jada Pinkett Smith -- yang saat itu sudah terlihat bete. Namanya juga jadi bahan guyon.
Namun semua berubah usai sang aktor kembali ke tempat duduk setelah menggampar Chris Rock. Ia memperingatkan komedian tersebut untuk tutup mulut, dan untuk sepersekian menit, saya yang berada di Jakarta ikut merasakan keheningan yang canggung di Dolby Theatre.
"What the $%^&... Ini beneran?" batin saya.
Setelahnya saya masih bersikukuh itu settingan dan lebih memilih fokus menyelesaikan laporan soal Oscar 2022. Namun rupanya diskusi soal aksi gamparan Will Smith itu terus mengemuka, ditambah lagi berbagai pihak ikut bersuara memastikan bahwa itu bukanlah rekayasa.
Ya Tuhan, Oscar, masalah apa lagi yang kini kau buat?
Academy Awards sejatinya adalah ajang perfilman tertinggi di dunia. Tak ada ajang kompetisi lain, setahu saya, yang punya sistem serumit dan setidak-bisa-diprediksi seperti Academy Awards dan membuatnya semakin menjadi tantangan tersendiri.
Wajar sebenarnya, mengingat pemilihan pemenang ditentukan melalui jajak pendapat tertutup oleh lebih dari 9.000 orang yang menjadi anggota the Academy.
Mestinya, ajang ini menjadi perayaan penuh prestise dan kebanggaan. Pakaian untuk datang ke Oscar saja diatur sedemikian rupa sekelas acara bangsawan di Bridgerton.
Namun Oscar kini seolah tak lebih dari sekadar acara televisi yang penuh dengan gimik dan drama selayaknya serial Keeping Up with The Kardashians.
Tak ada lagi gimik berkelas macam Ellen DeGeneres dengan we-fie yang viral di media sosial pada 2014. Atau saat James Corden membawa Carpool Karaoke di panggung Oscar pada 2017.
Sejak Oscar mengalami kesalahan fatal terkait amplop pemenang Best Picture, ajang ini kini penuh drama.
Mulai dari isu rasial yang sudah mendarah daging di masyarakat Amerika, hingga tarik ulur keputusan durasi dan siapa yang akan dibuang dari siaran langsung, seperti yang terjadi pada tahun ini.
Berbagai konflik, tudingan, hingga boikot juga mewarnai Oscar dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan tidak mungkin ini berpengaruh ke berbagai ajang lain mengingat Oscar sebenarnya adalah 'penutup' dari musim penghargaan.
Perancangan konsep acara yang kini mengutamakan durasi dan rating, mau tak mau memaksa Oscar untuk menjadi bahan pembicaraan. Semua demi menjadi trending atau bahan perbincangan, yang kadang terjadi inkonsistensi antara satu keputusan dengan yang lainnya.
Ketidak-konsistenan itu terlihat dari Oscar 2022 yang tiba-tiba memasukkan delapan kategori yang semula dibuang, kembali ke siaran langsung.
Apapun alasan di balik perubahan citra Oscar ini, panitia penyelenggara harus menghadapi fakta bahwa strategi mendulang rating dengan berbagai gimik juga drama sebenarnya tidak berpengaruh signifikan pada acara ini.
Hal itu terlihat dari rating acara Oscar yang tiap tahun menurun dan anjlok saat pandemi. Saya menduga penurunan ini adalah buah dari perkembangan teknologi digital yang membuat orang tak lagi memperhatikan Oscar di televisi, melainkan cukup melihat di tajuk berita atau kicauan Twitter.
Oscar sudah semestinya kembali pada konsep acara yang saling menghormati seluruh komponen industri perfilman, karena pada dasarnya acara ini adalah perayaan bagi penggemar dan pekerja film.
Bukan hanya mengandalkan gimik, atau bahan guyon yang menyudutkan sekelompok golongan.
Kalau alasan kebebasan berpendapat dan kreativitas digunakan untuk membenarkan segala guyon dan gimik tak berkelas dalam Oscar, maka tindakan Will Smith tadi pagi bisa dibenarkan dengan alasan membela kehormatan istri dan keluarganya.
Pernyataan The Academy yang memilih cuci tangan dan hanya sekadar menegaskan mereka "tidak membenarkan aksi kekerasan dalam bentuk apapun" sejatinya bukan solusi. Bahkan bisa dibilang sebagai tindakan tidak bertanggung jawab.
Emosi yang muncul dari Will Smith --kalau benar ia emosi-- adalah buah dari naskah guyon yang disiapkan dan dibacakan oleh Chris Rock. Komedian Amerika bukanlah komedian yang didominasi spontanitas. Semua ada naskahnya.
Sehingga, The Academy, di luar dari urusan rating, mesti melakukan evaluasi dan menentukan kembali ke mana Oscar akan dibawa, baik dari masalah keterwakilan juga keberpihakan pada kelompok-kelompok marjinal, hingga yang lebih krusial adalah makna dari ajang Piala Oscar.
Karena sesungguhnya rating dan tren itu hanyalah sementara. Tidak abadi. Masyarakat akan terus berubah begitu juga dengan minatnya.
Namun yang terus melekat hingga jauh-jauh hari adalah nilai-nilai serta kesan yang ditinggalkan dari sebuah karya.
(vws)