Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Rieke Diah Pitaloka, mendukung Presiden Joko Widodo agar membongkar indikasi kuat tidak transparannya Biaya Pokok Produksi (BPP) Bahan Bakar Minyak (BBM).
Di samping itu, dia juga menginginkan adanya kejelasan terkait alokasi APBN untuk subsidi energi, subsidi perlindungan sosial, dan energi bagi keluarga tidak mampu.
"Saya mendukung Presiden Jokowi membongkar indikasi kuat tidak transparannya BPP BBM dan alokasi APBN untuk subsidi energi, serta untuk subsidi perlindungan sosial dan energi bagi keluarga tidak mampu," ujar Rieke.
Menurut dia, Komisi VI DPR pada Rapat Kerja (Raker), Senin (5/9), sudah meminta Kementerian BUMN untuk menyampaikan secara tertulis beberapa perincian terkait lima poin.
Pertama, BPP crude oil dari Indonesia. Kedua, perincian BPP crude oil impor. Ketiga, perincian impor crude oil, LPG dan LNG dari tahun 2011-2022.
Keempat, perincian dari mana sumber data penerima subsidi energi BBM, LPG dan listrik, termasuk prosedur dan mekanisme, serta indikator dan variabel pendataan yang digunakan sebagai acuan penerima subsidi energi. Kelima, tunggakan hutang subsidi Pemerintah ke Pertamina dan PLN.
"Namun hingga hari ini data-data yang diminta belum disampaikan Kementerian BUMN. Karena itu, tidak ada data yang akurat dan aktual tentang BPP crude oil dari Indonesia dan impor, untuk mengungkap berapa sesungguhnya angka keekonomian yang dimaksud pemerintah," kata dia.
Di sisi lain, menurutnya data penerima subsidi, termasuk prosedur dan mekanisme, serta indikator dan variabel pendataan yang digunakan sebagai acuan penerima subsidi energi, juga belum disampaikan ke Sekretariat Komisi VI DPR RI.
Maka dari itu, Rieke mendukung pembatalan kenaikan harga BBM. Hal ini dikarenakan ada indikasi kuat tidak adanya transparansi BPP BBM dan penerima subsidi BBM.
"Saya mendukung KPK dan Kejaksaan Agung mengungkap indikasi penyimpangan uang negara, yang indikasinya beroperasi melalui data-data yang tidak aktual dan akurat terkait BPP BBM dan penerima subsidi bantuan sosial dan BLT BBM," imbuhnya.
Rieke juga mempertanyakan anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM untuk 20,65 juta keluarga tidak mampu, yang bersumber dari relokasi anggaran subsidi BBM. Sebagaimana diumumkan oleh pemerintah pada Sabtu (3/9), bahwa lebih dari 70 persen subsidi BBM dinikmati kelompok mampu.
Oleh karena itu, sebagian subsidi energi dialihkan untuk BLT BBM senilai Rp12,4 triliun bagi 20,6 juta keluarga tidak mampu. Sementara subsidi senilai Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan upah di bawah Rp3,5 juta.
"Alokasi APBN untuk BLT sebesar Rp28,8 triliun dari pos perlindungan sosial dan ditambah Rp12,4 triliun dari relokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM untuk 20,6 keluarga tidak mampu. BLT Perlindungan Sosial Rp28,8 triliun untuk 20,6 juta keluarga tidak mampu, artinya per-keluarga tidak mampu seharusnya mendapatkan Rp1,39 juta," tegas Rieke.
Dia juga mengatakan, apakah terjadi duplikasi anggaran untuk BLT BBM dan subsidi bagi pekerja dari APBN perlindungan sosial dan realokasi anggaran subsidi BBM September 2022.
"Lalu apakah data 20,6 juta warga penerima BLT perlindungan sosial dan 20,6 juta penerima BLT BBM adalah sama?" ucapnya.
Menurut dia, jika keluarga tidak mampu penerima BLT Perlindungan Sosial sama dengan data penerima BLT BBM, maka seharusnya per-keluarga mendapatkan Rp1,39 juta dari BLT Perlindungan Sosial dan Rp600 ribu dari BLT BBM.
(adv/adv)