Dengan yakin, saya bisa mengatakan Argentina 1985 sebagai satu dari sedikit film rilisan 2022 yang mampu membuat saya begitu terkesan, mulai dari cerita, eksekusi dan kemampuan para pemainnya, hingga estetika.
Sekaligus, Argentina 1985 membuat saya semakin gereget karena merasa bahwa Autobiography mungkin bisa memiliki kans lebih sebagai wakil Indonesia ke Oscar 2023. Namun yang sudah berlalu biarlah jadi pembelajaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, salah satu pembelajaran yang saya dapatkan dari Argentina 1985 adalah Indonesia sangat mampu punya film dengan cerita --bahkan mungkin eksekusi-- yang setara dengan unggulan Argentina di Oscar 2023 ini.
Dari segi cerita, saya yakin Argentina 1985 akan sangat beresonansi dengan masyarakat Indonesia yang merasakan dua fase sejarah bangsa ini: akhir Orde Baru dan Reformasi, ketika masyarakat berusaha mengambil kedaulatannya sendiri dari diktator.
Terlepas dari memori yang akan selalu terekam dalam benak Generasi Baby Boomer, X, dan Y tersebut, Argentina 1985 bukan hanya menunjukkan bagaimana suatu bangsa berusaha lepas dari jeratan junta, tetapi juga kembali ke hakikat kemanusiaan: menghargai harkat dan martabat manusia.
Namun gagasan berbobot berat tersebut dieksekusi Santiago Mitre dengan begitu baik sehingga tidak menjemukan, selain daripada menghadapi proses adaptasi dengan sejarah dan latar belakang cerita pada bagian awal film.
![]() |
Mitre membungkus kisah persidangan Trial of the Juntas 1985 dan sekitarnya dengan begitu padat, tapi mengalir dengan lembut, dan diselingi humor-humor ringan melalui interaksi antar karakternya.
Hal itu membuat pesan besar, berat, serta pilu yang menyertai persidangan ini bisa mengena ke penonton, tanpa harus merasa kewalahan menyimak kisah film berdurasi nyaris 2,5 jam ini.
Belum lagi dengan scoring yang terasa pas dan tepat dengan ceritanya, yang akhirnya membuktikan fungsi dari scoring adalah sebagai penguat pesan juga cerita, bukan malah menutupinya.
Saya pun angkat jempol atas selera juga visi Mitre dan sinematografer Javier Julia dalam membuat Argentina 1985. Penggunaan aspek rasio 3:2 dengan kamera 32mm menegaskan secara pas akan suasana dekade '80-an di film ini, selain daripada aspek desain produksi dan kostum.
Desain produksi, properti, hingga kostum dan tata rias dalam Argentina 1985 ini juga menunjukkan perancangan yang begitu matang dan detail. Seluruh aspek dalam film ini dipastikan tidak terlihat berasal dari masa depan dari latar cerita.
Namun yang membuat saya begitu terkesan dengan film ini adalah kemampuan ceritanya yang --meski dalam bahasa Spanyol-- tetap bisa menyentuh saya yang sangat asing akan bahasa bangsa Eropa tersebut.
Kendala bahasa seperti hanya gundukan kecil di tengah jalan dalam menyaksikan Argentina 1985, karena saya sudah hanyut dalam ceritanya yang menyentuh.
Mitre, yang dalam penulisan film ini dibantu oleh Mariano Llinás, mampu membangun dramatisasi dan konflik inter juga intra karakter terlihat begitu natural hingga seolah-olah mengalir begitu saja.
![]() |
Mulai dari perkembangan karakter utama, Julio César Strassera (Ricardo Darín) dan Luis Moreno Ocampo (Peter Lanzani), hingga eksplorasi karakter para korban tiran tanpa terasa eksploitasi menjual kesedihan semata.
Apalagi ditambah performa yang apik dari Darin dan Lanzani. Keduanya membangun dengan kuat karakter masing-masing yang sebenarnya saling bertolak belakang, tapi tetap bisa memiliki chemistry yang mantap sebagai sepasang rekan kerja.
Penampilan para pemain dan harmonisasi inilah yang membantu kisah Argentina 1985 bisa beresonansi kepada khalayak luas, tanpa memandang perbedaan bahasa.
![]() |
Sehingga, ketika Argentina 1985 secara mengejutkan menjadi pemenang Golden Globe Awards 2023 untuk kategori film berbahasa asing terbaik, saya pun bisa memahami alasan para juri.
Bagi saya, Argentina 1985 bukan hanya sekadar memotret proses persidangan ataupun berlagak sebagai film yang mengangkat nilai-nilai humanisme atau hak asasi manusia, tapi itu terlihat dari kutipan Julio César Strassera dalam pernyataan penutup dakwaan di persidangan:
"Pengadilan ini dan hukuman yang saya anjurkan, membuat kita harus menciptakan perdamaian bukan berdasarkan melupakan, melainkan mengingatnya. Bukan kekerasan, melainkan keadilan. Ini kesempatan kita, mungkin yang terakhir."