Sebuah patung berwarna kebiruan dengan pucuknya yang keemasan sudah terlihat dari kejauhan angkasa, berdiri di atas dataran Bali, siap menyambut siapapun yang mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai.
Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) adalah pemandangan baru bagi siapapun yang tiba di Pulau Dewata semenjak 2018. Patung setinggi 121 meter dari atas tanah atau 271 dari atas permukaan laut ini adalah mahakarya I Nyoman Nuarta.
Patung monumental itu tidak dibangun dalam semalam seperti kisah candi-candi, tapi puluhan tahun dan penuh dengan keringat juga air mata dari seniman kelahiran 14 November 1951 itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nyoman bukan hanya dikenal berkat GWK. Tangan-tangannya yang ajaib sudah mengubah tembaga dan kuningan menjadi karya seni bernilai tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar.
Lulusan Institut Teknologi Bandung ini juga tercatat sebagai seniman di balik patung Soekarno dalam Monumen Proklamasi Jakarta, patung Arjuna Wiwaha di Jakarta, dan Monumen Jalasveva Jayamahe di Surabaya.
![]() |
Belum lagi berbagai karyanya yang khas dengan aksen citra bergerak berada di berbagai bangunan di Indonesia, baik terbangun sebagai penghias maupun penyambut siapapun yang datang.
Posisi saat ini sebagai salah satu seniman sukses di Indonesia dicapai Nyoman bukan dengan jalan yang mulus dan singkat. Ia pernah merasa minder semasa masih bocah dari teman-temannya.
Nyoman juga harus mengambil langkah berani keluar dari zona nyamannya di Bali dan mulai peruntungan menjelajah Jawa yang asing baginya hanya untuk bisa studi serta mengejar mimpi.
Belum lagi ia harus putar otak untuk bisa berkreasi tanpa terkotak-kotakkan pandangan atau komentar orang lain. Semua ia hadapi hanya atas nama berkesenian.
![]() |
"Kesenian itu sebaiknya, bukan sebaiknya, harusnya tidak boleh dibatasi oleh apapun," kata Nyoman.
"Buat saya, itu anugerah saja dari Tuhan. Cuma itu saja, enggak ada yang lain. Jadi saya harus bela kesenian saya itu. Karena apa? Ya karena enggak ada pilihan lain," katanya.
Nyoman sudah seteguh itu dengan komitmennya akan kesenian. Namun Nyoman juga sadar, seni saja tidak cukup dalam berkreasi.
Sentuhan cita rasa dan kreasi dari otak kanan berpadu dengan sains dan logika serta analisis bisnis dari otak kiri Nyoman Nuarta, menghasilkan karya yang terbilang unik dan bernilai ekonomi dari tangannya.
Maka wajar adanya Nyoman memiliki gagasan tak biasa tapi realistis untuk diwujudkan. Salah satunya adalah yang kini ia kerjakan: Istana Kenegaraan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
![]() |
Proyek itu bukan seperti membuat patung sekelas GWK, tapi adalah simbol dari Republik Indonesia tempat penguasa akan duduk di singgasananya. Nyoman pun bukan tanpa kontroversi saat dipilih memenangkan sayembara desain Istana.
Namun Nyoman masih sama seperti ketika ia muda. Ia teguh dan bersikukuh terus berjalan, mempercayai instingnya, meskipun banyak skeptis di sana-sini. Semua atas nama komitmen.
"Banyak orang-orang pesimis, ya saya tidak terlalu peduli itu. Kalau saya sudah bilang iya, harus iya. Itu saya," kata Nyoman. "Saya tidak akan mundur,"
"Orang-orang [bilang] 'Ini kalau tidak dilanjutkan?' Biar sajalah kalau enggak dilanjutkan juga. 'Kalau kamu enggak dibayar?' Biar saja lah kan saya yang rugi, bukan Anda. Saya tipenya begitu. Itu namanya komitmen,"
![]() |
Sepotong kisah hidup dan pembelajaran dari pengalaman maestro patung Indonesia ini akan tertuang dalam Runtai edisi November 2023 yang bertajuk: Tangan-tangan Nyoman Nuarta, dan rilis di CNNIndonesia.com, Selasa (14/11), pukul 13.00 WIB.
Nyoman Nuarta mungkin kini genap berusia 72 tahun, tapi pemikirannya sudah jauh melebihi orang kebanyakan. Sepenggal pemikiran dan pengalamannya itulah yang kemudian coba dituturkan kepada pembaca sekalian.
Dari visi yang melewati ratusan tahun, serta keteguhan yang mampu membuat tembaga dan kuningan menjadi karya seni, adalah segelintir alasan dalam Runtai mengapa Nyoman Nuarta layak berada di puncak bersama garuda.
Selamat membaca.
(end)