Berstatus standalone sequel, Twisters (2024) jelas tak akan bisa selamat dari sapuan perbandingan dengan pendahulunya yang terpaut 28 tahun, Twister (1996). Hal itulah yang saya alami selama menyaksikan Daisy Edgar-Jones dengan Glen Powell berkejar-kejaran memburu dan kabur dari tornado selama 122 menit.
Sebagai salah satu penonton-berulang Twister (1996), pengumuman proyek Twisters beberapa tahun lalu membuat saya girang. Membayangkan filmnya bakal penuh dengan penjelasan ilmiah seperti yang ditulis penulis-ilmuwan-sineas Michael Crichton pada 1996 dan dikombinasikan dengan kecanggihan teknologi perfilman saat ini, bulu roma saya gemetaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat melihat Twisters (2024) yang merupakan hasil garapan sutradara Minari (2020), Lee Isaac Chung, saya bersyukur imajinasi saya tidak sepenuhnya terjadi. Saya rasa, bila angan saya benar terwujud, film ini akan seperti dokumenter ilmiah yang sanggup membuat sebagian besar penonton bioskop di Indonesia tertidur.
Steven Spielberg selaku pemilik studio Amblin Entertainment yang menggarap Twisters (2024) rasanya juga semakin realistis dalam menggarap film semi-semi komersial seperti ini.
Spielberg tampaknya sadar, popularitas film fiksi--yang lebih berat ke--ilmiah sudah mulai menurun. Penggemarnya masih ada, tapi menjadi golongan yang niche, bahkan bisa jadi lebih memilih langganan saluran khusus dibanding ke ekshibisi komersil macam bioskop.
Naskah yang ditulis Mark L Smith berdasarkan cerita Joseph Kosinski ini bisa dibilang memiliki komposisi drama, thriller ala disaster movie, dan fiksi-ilmiah yang cukup berimbang. Smith jelas memberikan ruang yang lebih luas terkait masalah personal dari sosok heroine yang kali ini bernama Kate Cooper (Daisy Edgar-Jones). Berbeda dengan Jo Harding (Helen Hunt) pada 28 tahun lalu.
![]() |
Pada Twister (1996), masalah personal Jo dengan Bill (Bill Paxton) bukan menjadi masalah utama. Film yang digarap oleh Jan de Bont tersebut fokus pada tornado dengan segala problematika ilmiahnya. Hal itu sebenarnya wajar mengingat penulis naskah sekaligus produsernya adalah Crichton. Lulusan kedokteran Harvard itu juga melakukan hal serupa saat menulis dan menggarap Jurassic Park (1990) dan The Lost World (1995).
Smith juga menyelipkan masalah kesehatan mental yang tren di masa modern pada karakter Kate, sehingga menjadikan karakter perempuan yang sangat cerdas hingga bisa membaca alam tersebut terasa sebagai manusia biasa, karena bisa mengalami takut dan trauma.
Aspek humanis itu jadi semakin kental dengan pengarahan Chung yang pernah memukau saya dengan semi-autobiografinya, Minari (2020). Chung rasanya memang paham bagaimana "memanusiakan" gambar bergerak. Tak perlu tangisan lebay untuk menunjukkan kesedihan, atau bibir dan sorot mata gemetar demi menampilkan ketakutan.
Chung tahu persis angle mana yang membuat manusia merasa menjadi "kecil" di hadapan alam semesta dan ikut menyebarkan rasa merinding hingga ke penonton di luar layar. Kepiawaian Chung itu untungnya dibantu dengan Dan Mindel yang menangani sinematografi dan Terilyn A Shropshire yang mengurus bagian editing.
![]() |
Sajian visual dari efek bencana yang menjadi unsur penting dalam disaster movie ditampilkan tanpa cela dalam Twisters. Tak ada namanya mobil terbang karena tornado yang terlihat jelas ditempel. Tak ada putaran angin yang terlihat palsu hasil kepintaran komputer. Semua terlihat pas dan sealami mungkin.
Chung juga beruntung memiliki tim desain produksi yang mantap. Berbagai properti yang menunjukkan kerusakan akibat terjangan tornado ditampilkan dengan sangat total dan jelas menunjukkan skala bujet US$200 juta yang diinvestasikan ke film ini.
Keputusan Chung dan Smith untuk tidak terlalu menonjolkan kecanggihan alat modern yang digunakan dalam cerita seperti pada Twister (1996), juga saya anggap sebagai keputusan yang tepat. Karena bila tampak "terlalu canggih", itu justru akan terlihat sangat palsu dan mengada-ada.
Selain itu, Smith juga menambahkan bumbu romansa yang lebih banyak pada film ini dibanding pendahulunya, yang semakin membuat unsur drama menjadi lebih terasa. Jelas, keputusan ini selaras dengan pemilihan Daisy Edgar-Jones dan Glen Powell sebagai bintang utama.
Keberadaan dua aktor itu juga yang membuat saya yakin Steven Spielberg sudah sangat realistis melihat bisnis film saat ini. Atau justru apakah atas desakan studio raksasa Universal Studios dan Warner Bros Pictures? Siapa yang tahu?
Spielberg sadar, menampilkan dua karakter utama bagai sepenuhnya ilmuwan yang geek dan bukan cameragenic seperti pada 1996, pasti membuat penonton akan terfokus pada tornado yang nge-reog dan bisa jadi membosankan.
Dengan formula sepasang pria dan perempuan menawan, dibalut kisah romansa tipis-tipis dan bumbu-bumbu emosi yang renyah, lalu digoreng dengan amukan alam semesta bervisual ciamik, Twisters (2024) harus saya akui sebagai film kebencanaan dan fiksi ilmiah paling umami yang saya nikmati.
Namun saya bersyukur, Daisy Edgar-Jones bisa menampilkan karakternya dengan baik, bukan cuma sekadar enak dipandang. Setidaknya, ia bisa menjadi penyeimbang dari akting standar Glen Powell, walaupun sangat menarik dari segi visual.
Terlepas dari aktingnya yang enggak jago-jago banget, Glen Powell memang cocok memerankan sosok pria begajulan dan tengil, seperti dalam film ini ataupun dalam Top Gun: Maverick (2022).
Dengan segala racikan Lee Isaac Chung dan tim dalam Twisters (2024), saya merasa bersyukur film Twister (1996) tidak langsung tergeser dari daftar tontonan favorit saya. Setidaknya, saya bisa menikmati dua sajian dengan rasa yang berbeda meski dari bahan yang sama.