Review Film: Joker - Folie a Deux
Tidak semua film brilian membutuhkan sekuel, dan Joker: Folie à Deux adalah contoh nyata dari anggapan itu. Manuver ekstrem sutradara Todd Phillips untuk film ini sayangnya hanya berujung kepada suguhan penuh tanda tanya.
Kening saya mengerut ketika membaca berita bahwa Joker: Folie à Deux bakal mengangkat format musikal berbulan-bulan lalu. Bakal seperti apa sekuel ini jika film pertamanya saja begitu didominasi nuansa psychological thriller.
Perasaan heran saya sempat berubah menjadi antusias ketika satu per satu materi promosi Joker: Folie à Deux digelontorkan. Phillips mungkin saja masih bisa mengulangi capaian Joker (2019), apalagi dengan biaya produksi yang berlipat ganda.
Namun, antusiasme itu perlahan runtuh ketika saya menyaksikan 138 menit babak baru cerita Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) bersama Harley Quinn (Lady Gaga) di Arkham Asylum.
Saya sesungguhnya menikmati menit-menit awal Joker: Folie à Deux. Bahkan, adegan pembuka yang dirangkai dengan gaya yang begitu unik itu cukup membuat saya bersemangat.
Namun, sejak saat itu, Joker: Folie à Deux justru melaju entah ke arah mana. Penulisan cerita yang menjadi begitu krusial terkesan kurang solid, apalagi dibanding Joker (2019).
Todd Phillips bersama Scott Silver sebagai penulis skenario memusatkan cerita menjadi tentang kisah cinta getir Arthur Fleck dan Harley Quinn.
Romansa di dunia kelam itu kemudian bersanding dengan pertaruhan nasib Fleck yang akan segera mengikuti persidangan kasus pembunuhan lima orang saat menjadi Joker di film pertama.
Alih-alih menggarap dua premis itu menjadi suguhan yang setara kualitasnya dengan film pertama, Joker: Folie à Deux justru seperti tidak memiliki identitas.
Penonton seolah hanya diajak mengikuti hari-hari mendekati persidangan selagi menonton keseharian Arthur Fleck yang tidak berdaya serta linglung di Arkham Asylum.
Warna baru sempat ditawarkan Harleen "Lee" Quinzel, baik kepada Arthur Fleck maupun penonton. Namun, lagi-lagi saya kesulitan memahami motif kehadiran Harley Quinn di kehidupan Fleck.
Laju cerita Joker: Folie à Deux lalu hanya beranjak dari satu fokus ke fokus lainnya, dari drama penjara, balada romansa, hingga drama persidangan. Perpindahan itu membuat cerita utamanya justru buyar hingga sulit rasanya mendefinisikan Joker: Folie à Deux secara sederhana.
Masalah serupa muncul dari elemen musikal. Suguhan musikal dalam Joker: Folie à Deux awalnya terasa megah bak menyaksikan aksi broadway di tengah cerita drama thriller.
Sayangnya, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk merasa jengah dengan nyanyian nestapa Joaquin Phoenix dan Lady Gaga karena muatan musikal itu disebar begitu banyak.
Unsur musikal itu kemudian menjadi redundan, hingga mulai kehilangan fungsinya bagi plot. Tidak jarang pula adegan musikal itu seolah menginterupsi dialog atau adegan-adegan lain yang sudah dibangun dengan intens.
Padahal, penampilan Lady Gaga dalam setiap adegan musikal sangat mengesankan. Joaquin Phoenix juga sanggup mengimbangi penampilan musikal Gaga yang memang sudah teruji dengan jam terbang tinggi.
Film ini sesungguhnya juga masih ditunjang penampilan dan hasil kerja orang-orang di baliknya yang brilian. Di samping adegan musikal, Joaquin Phoenix juga memerankan karakter Arthur Fleck dengan meyakinkan.
Aktingnya di Joker: Folie à Deux mungkin tak bisa menandingi performanya sendiri di Joker (2019). Namun, ia masih bisa membawa Arthur Fleck menjadi nyata dengan kepribadian yang berlapis dan abu-abu.
Todd Phillips juga tetap menunjukkan tajinya sebagai sutradara kelas elite di Joker: Folie à Deux. Ada banyak adegan yang diambil dengan gaya penyutradaraan yang menarik.
Terlepas dari kehadirannya yang dipertanyakan, adegan musikal dalam film ini juga layak untuk dipuji. Todd Phillips jeli dalam memilih lagu dan memadukannya dengan visual yang memanjakan mata.
Todd Phillips bersama Lawrence Sher sebagai sinematografer juga terlihat mengoptimalkan biaya produksi gila-gilaan yang dikeluarkan, sehingga Joker: Folie à Deux memiliki visual kelas wahid dari awal hingga akhir.
Sayangnya, keunggulan dari sejumlah aspek itu tidak mampu menyelamatkan Joker: Folie à Deux dari jurang kekecewaan. Apalagi jika penonton membandingkan film ini dengan Joker (2019) yang fenomenal.
Hasil itu pun perlu menjadi catatan, terutama bagi sutradara seperti Phillips yang bernyali mengadaptasi karakter ikonis DC Comics secara lepas hingga menanggalkan latar belakang yang penting dan melekat dengan versi aslinya.
Langkah semacam itu sesungguhnya sah-sah saja di dunia kreatif, tetapi perlu diikuti dengan tanggung jawab menyajikan perspektif baru dengan suguhan yang kualitasnya terjamin.