Review Film: Hotel Sakura

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 13 Jul 2025 18:59 WIB
Review film: Hotel Sakura sebenarnya punya gagasan segar, tetapi eksekusi dan hasilnya tak semudah yang dibayangkan.
Review film: Hotel Sakura sebenarnya punya gagasan segar, tetapi eksekusinya penuh dengan hal tricky. (dok. HERS Production/Kakatua Pictures)
img-title Endro Priherdityo
3
Yang jelas, Krishto, Upi, dan Ian tak akan bisa membuat puas semua penonton dengan proyek reinkarnasi horor Jepang dekade '90-an ini.
Jakarta, CNN Indonesia --

Di tengah arus film horor yang sesak dengan dominasi kultur tertentu, Hotel Sakura memberikan sajian baru yang jadi penyegar untuk penonton horor, yakni membangkitkan kembali kenangan akan film horor ala Jepang pada dekade '90-an tapi dengan fusi kisah kelokalan.

Gagasan yang sebenarnya menyegarkan itu sejatinya tak bisa dibilang mudah untuk dieksekusi, alias cukup tricky. Bukan hanya karena rawan cringe, tetapi juga perlu cerita yang kuat untuk bisa membuat penonton keluar bioskop dengan rasa puas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada bagian inilah Upi Avianto dan Ian Adiwibowo selaku penulis serta Krishto D Alam selaku sutradara Hotel Sakura mendapatkan tantangan serius, yakni bagaimana memadukan kisah horor yang terinspirasi dunia Sadako ke dalam latar kehidupan lokal masyarakat Indonesia.

Saya bisa bilang Hotel Sakura berhasil pada satu sisi, tapi juga lemah pada sisi yang lain.

Upi dan Ian mampu membuat alur film horor yang cukup creepy dengan mengombinasikan thriller psikologis di dalamnya. Ada sejumlah bagian-bagian cerita yang sebenarnya membuat bulu kuduk merinding manja, alih-alih cuma modal jumpscare. Bahkan saya bilang jumpscare di Hotel Sakura tak sampai bikin kaget.

Apalagi sutradara Krishto yang melanjutkan pekerjaan Rudy Soedjarwo dalam film ini berhasil merekam momen-momen tersebut dan membuatnya sebisa mungkin terlihat natural. Krishto tampak paham bagaimana imaji paranoid akan penampakan dalam benak orang awam.

Hotel Sakura mengisahkan perjalanan dua kawan saat mencoba menginap di sebuah hotel kuno dan berhantu.Hotel Sakura mengisahkan perjalanan dua kawan saat mencoba menginap di sebuah hotel kuno dan berhantu. (dok. HERS Production/Kakatua Pictures)

Saya suka akan kerja sama tim penulis, sutradara, serta DoP Arfian di film ini dalam mengemas penampakan umum, seperti momen sosok lewat, sosok dilihat dari kaca, hingga sosok di atas lemari.

Mereka mengerjakan momen-momen penampakan yang sebenarnya standar tersebut dengan cara senatural mungkin, tanpa perlu dibuat berlebihan macam hantunya meliuk-liuk sembari mangap-mangap seperti banyak film horor lokal kekinian.

Gaya penggarapan ini mengingatkan saya akan film horor dekade awal milenium yang sempat jadi perbincangan pada saat itu, seperti Pocong (2006) serta Pocong 2 (2006) karya Rudy Soedjarwo, dan Jelangkung (2001) karya Rizal Mantovani serta Jose Poernomo.

Dengan segala keterbatasan pembuatan film dan akses menyaksikan film kala itu, film-film tersebut terasa jadi lebih horor karena suasana yang muncul secara natural, yakni saat penonton menghadapi sesuatu yang tidak mereka ketahui secara pasti.

Suasana itu yang sudah pudar pada industri horor saat ini, ketika mulai didominasi oleh kultur tertentu, dan gaya cerita hingga penampakan yang serupa. Kalau saya dedemit, saya mungkin akan tersinggung dengan penggambaran dari manusia tersebut.

Selain itu, saya cukup terkesan dengan hasil kerja keras tim tata rias dan wardrobe dari Hotel Sakura. Mereka terbilang telaten dan memperhatikan hal detail dalam menghasilkan riasan yang menakutkan untuk karakter Setsuko dan setan-setan lainnya.

Hotel Sakura mengisahkan perjalanan dua kawan saat mencoba menginap di sebuah hotel kuno dan berhantu.Review Hotel Sakura: Krishto tampak paham bagaimana imaji paranoid akan penampakan dalam benak orang awam. (dok. HERS Production/Kakatua Pictures)

Namun yang membuat saya kagum adalah hasil riasan untuk adegan penemuan di kamar nomor 8. Dikombinasikan dengan sorotan kamera dan senter yang diatur oleh Krishto, bagian itu adalah yang paling menempel dalam ingatan saya selepas keluar dari bioskop.

Meski begitu, Hotel Sakura juga meninggalkan catatan merah. Salah satu yang paling terasa adalah percakapan dan perjalanan cerita pada paruh pertama film berjalan. Tim penulis seolah cukup sulit memilih percakapan atau cerita yang bisa cocok dengan gagasan film ini dan mulus untuk disampaikan.

Hal itu diperparah dengan akting para pemain yang terlihat belum masuk sepenuhnya pada cerita di bagian awal. Hubungan Clara Bernadeth dengan Taskya Namya yang kaku dan ganjil di awal bahkan terasa hingga keluar layar. Belum lagi kuliah yang diberikan Tessa Kaunang, dan kemunculan tak jelas Randy Martin dalam bagian awal film ini.

Beruntungnya, memasuki permasalahan film, Taskya dan Clara terlihat lebih cair dan mulai terkoneksi satu sama lain. Meskipun, saya melihat Taskya lebih luwes dalam menyampaikan karakter Nida yang sayangnya tak bisa diimbangi oleh Clara sebagai Sarah. Maka, pada bagian kedua, Taskya mampu sebagai scene stealer walaupun sebenarnya pusat cerita ada pada Clara.

Selain itu, saya merasa bahwa efek visual pada sosok Setsuko sebenarnya tidak diperlukan. Meski memang efek visualnya sedikit, tapi bagi saya itu berlebihan karena mengurangi unsur estetika dan autentiknya.

[Gambas:Video CNN]



Sementara itu, duo aktor senior Donny Damara dan Tio Pakusadewo bisa dibilang adalah nomor ketiga yang mampu memberikan suasana horor dalam Hotel Sakura, setelah suasana bangunan lokasi syuting, dan setan-setan kameo beserta teknik penyutradaraan.

Kehororan dua aktor ini justru bukan datang dari dialog ataupun penampilan mereka, tetapi dari cara gestur serta tatapan yang bisa berubah-ubah, dari misterius, lalu ke creepy, kemudian something strange and suspicious yang bikin orang akan jaga jarak dengan mereka.

Beruntungnya, Hotel Sakura saya anggap memiliki paruh kedua yang lebih baik dibanding awal. Yang jelas, Krishto, Upi, dan Ian tak akan bisa membuat puas semua penonton dengan proyek reinkarnasi horor Jepang dekade '90-an ini, tapi setidaknya mereka membuat saya berharap bisa terbangun dari tidur bukan dalam sebuah loop.

[Gambas:Youtube]



(end)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER