Gedung Putih bereaksi keras setelah bintang pop Sabrina Carpenter secara terbuka mengecam penggunaan salah satu lagunya yang mempromosikan penangkapan oleh Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE).
Entertainment Weekly menghubungi Gedung Putih untuk meminta komentar setelah Carpenter secara terbuka mengecam penggunaan lagu hitnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai tanggapan, seorang perwakilan resmi Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang secara terbuka bersifat agresif dengan menggunakan lirik Manchild Sabrina Carpenter.
"Berikut pesan singkat dan manis untuk Sabrina Carpenter: Kami tidak akan meminta maaf karena mendeportasi para pembunuh ilegal, pemerkosa, dan pedofil kriminal berbahaya dari negara kami," tuturnya.
"Siapa pun yang membela monster-monster sakit ini must be stupid, or is it slow?"
Semua bermula setelah beredar video resmi pemerintah menampilkan lagu Carpenter, Juno, dengan lirik viral "Pernahkah Anda mencoba yang ini?" diikuti gambar agen ICE mengejar, menjegal, dan memborgol warga sipil.
Carpenter kemudian mengecam tindakan tersebut, menyebutnya sebagai penyalahgunaan berat atas karyanya dan sesuatu yang tidak pernah ia setujui.
Pemenang Grammy dua kali itu membalas video Gedung Putih yang diunggah di X, dengan mengatakan, "Video ini jahat dan menjijikkan. Jangan pernah melibatkan saya atau musik saya untuk menguntungkan agenda Anda yang tidak manusiawi."
Carpenter tidak sendirian dalam perjuangan ini. Dalam beberapa minggu terakhir, Olivia Rodrigo dan Taylor Swift juga menjadi sasaran penggunaan lagu-lagu secara tidak sah oleh Gedung Putih dalam video-video bermuatan politik.
Dalam kasus Rodrigo, akun Instagram resmi Departemen Keamanan Dalam Negeri dan Gedung Putih mengunggah video yang mendorong imigran ilegal untuk meninggalkan AS secara sukarela, menggunakan lagu Rodrigo "all-american bitch" sebagai soundtrack.
Penyanyi Filipina-Amerika itu mengecam penggunaan lagunya, dengan menjawab, "Jangan pernah gunakan lagu saya untuk mempromosikan propaganda rasis dan kebencian Anda." Lagu tersebut kemudian dihapus dari video.
Dalam kasus Swift, seorang tokoh budaya yang telah lama berkecimpung dan mantan kritikus Trump, Gedung Putih menggunakan lagu The Fate of Ophelia dalam sebuah TikTok patriotik yang merayakan agenda presiden, menyebutnya "The Fate of America."
Meskipun Swift tidak menanggapi secara terbuka, artis lain seperti Carpenter dan Rodrigo dengan jelas menolak penyalahgunaan karya mereka untuk tujuan politik.
Keberatan mereka menyoroti masalah yang semakin meningkat bagi para musisi, karena karya kreatif mereka diubah menjadi propaganda politik tanpa persetujuan mereka, dan seringkali untuk tujuan melucuti makna asli seni dan tidak sejalan dengan pandangan atau nilai-nilai sang seniman.
Sedangkan bagi Carpenter, situasi itu terjadi di tengah puncak kariernya. Penyanyi itu baru saja melewati tahun yang gemilang dengan albumnya yang memuncaki tangga lagu, Short n' Sweet, beberapa nominasi Grammy, dan tur dunia yang sangat sukses.
Carpenter telah menjadi salah satu suara paling dikenal di Hollywood, dan dengan pengaruhnya yang semakin besar, penolakannya untuk diam semakin terdengar lantang.
Musik yang digunakan tanpa konteks atau izin memiliki kekuatan untuk mengubah opini publik, dan, dalam hal ini, mengaitkan artis yang dicintai dengan kebijakan imigrasi yang sangat menegangkan dan adegan penangkapan yang penuh kekerasan.
Bagi banyak penggemar, keberatan Sabrina Carpenter lebih dari sekadar hak cipta; itu adalah sikap moral.
(chri)