Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini, Rabu (23/9), sebuah kabar duka berhembus. Pengacara senior Adnan Buyung Nasution wafat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, pukul 10.17 WIB.
Sosok yang satu ini layak menjadi inspirasi kita semua, kalau mengingat berbagai kiprahnya dalam dunia peradilan dan hukum di tanah air.
Abang Buyung, begitu ia akrab dipanggil, wafat dalam usia 81 tahun, karena penyakit jantung yang dideritanya. Di negeri ini, Bang Buyung dikenal sebagai pengacara terkenal.
Tapi siapa mengira, dia mengawali kariernya sebagai Kepala Humas Kejaksaan Agung pada 1957-1968. Lalu posisi politik dicapainya saat menjadi anggota DPRS/MPRS periode 1966-1968, sebelum menjadi Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum pada tahun 1970-1986.
Dia pun pernah menjadi Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 1981-1983.
Sebagai pengacara, dia mendirikan perusahaan konsultasi hukum Adnan Buyung & Associates pada 1969.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Adnan Buyung diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum periode 2007-2009.
Sebelum menjadi salah satu pengacara kondang di negeri ini, Buyung mengawali kariernya dengan menjadi Kepala Humas Kejaksaan Agung tahun 1957-1968. Dia juga pernah menjadi anggota DPRS/MPRS periode 1966-1968, dan Ketua Dewan Pengurus Lembaga Bantuan Hukum tahun 1970-1986.
Buyung juga pernah menjadi Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia periode 1981-1983. Konsultan Hukum Adnan Buyung & Associates yang dia dirikan sejak 1969 sampai saat ini masih terus menangani sejumlah kasus hukum.
Buyung, Bukan Nama AsliNama Buyung ternyata bukan nama yang tercatat di akta kelahiran pria kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934 itu. Itu adalah panggilan akrab dari kerabat dan rekannya. Tapi seumur hidupm nama itu melekat padanya.
Selain terlibat di lembaga hukum, Adnan Buyung juga tercatat sebagai pendiri Harian Kedaulatan Rakyat dan Kantor Berita ANTARA.
Masa kecilnya diliputi suasana perang gerilya merebut kemerdekaan. Maklum ayahnya, Rachmat Nasution adalah seorang pejuang gerilya melawan Belanda.
Dia lantas berkembang menjadi sosok yang mandiri. Banyak yang merekam kisah soal dirinya berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Selain mandiri, Buyung muda juga dikenal aktif melawan. Saat duduk di bangku sekolah menengah, ia turut melakukan unjuk rasa terhadap rencana pendirian sekolah sekutu NICA di Yogyakarta.
Kehidupan lantas berpindah dari kota gudeg ke ibu kota. Saat menginjak sekolah menengah atas, Buyung bersekolah di SMA Negeri 1 Jakarta. Di sekolah itu ia aktif berorganisasi, hingga akhirnya menjabat Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yang belakangan dibubarkan karena mengandung unsur komunis.
Buyung adalah seorang yang punya visi terhadap pendidikan. Lepas dari sekolah menengah atas, Buyung sempat terdaftar di beberapa universitas ternama. Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Gabung Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada, terakhir berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Namun hanya di UI kemudian Buyung menuntaskan perkuliahan hukumnya.
Semasa Reformasi, Buyung berdiri di panggung-panggung berorasi dengan lantang. Ia adalah salah satu motor dan tokoh yang bersama-sama mahasiswa menuntut Presiden Soeharto -presiden yang telah memberinya 10 skuter- untuk mundur.
Buyung tak pernah berbicara pelan. Teriakannya selalu saja lantang. Bahkan, pada saat terakhirnya ia masih tetap ingin bicara dengan siapa saja. “Bapak bicara lewat tulisan, sebab mulutnya dipasangi ventilator. Ia gigih, sampai-sampai kami keluarganya diminta dokter keluar agar dia berhenti bicara dan berisitirahat,” ujar Pia Akbar Nasution, putri Buyung kepada CNN Indonesia, akhir pekan lalu.
(ded/ded)